Kelompok DPD RI dan Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR Pertajam Visi Perbaikan Konstitusi
JAKARTA, Harnasnews – Kelompok DPD RI di MPR mengundang Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI dari pengajuan DPD RI untuk mempertajam wacana kaji ulang Konstitusi dalam executive brief “Mendorong Lahirnya Konsensus Nasional untuk Kembali kepada Sistem Bernegara Rumusan Pendiri Bangsa,” di Kantor DPD RI, Kompleks Senayan Jakarta, Rabu (5/7/2023).
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti hadir bersama dengan Sekretaris Kelompok DPD di MPR, Ajbar, anggota DPD RI asal Sumatera Barat, Alirman Sori dan Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin dan Togar M Nero.
Sebanyak 3 narasumber dihadirkan untuk memberikan paparan, antara lain Dr. Ichsanuddin Noorsy BSc, SH, MSi (ekonom), Dr Radian Salman SH, LL.M (Pasca Sarjana Unair) dan Dr Mulyadi (Fisip UI).
Sementara itu hadir 10 anggota K3 MPR yakni Djamal Azis, Umar Husin, Margarito Kamis, Tellie Gozelie, Syamsul Bahri, Ahmad Farhan Hamid, Nuzran Joher, Wahidin Ismail, Bambang Supriyono dan John Pieris.
Anggota DPD RI Alirman Sori mengatakan Kelompok DPD RI di MPR perlu menghadirkan beberapa narasumber untuk memberikan masukan dan mempertajam wacana kembali ke UUD 45 naskah asli kepada Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI.
Salah satunya mengenai mendudukkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi dan pengisian keanggotaan MPR supaya benar-benar representasi kedaulatan rakyat menjadi berkecukupan sebagai penjelmaan rakyat.
“Perjuangan DPD RI adalah mengembalikan bangsa ini ke UUD 1945 naskah asli yang kemudian disempurnakan dengan teknik adendum. Karena banyak dinamika dan problematikanya, maka kita perlu mempertajam hal itu, supaya Komisi Kajian Ketatanegaraan mendapat banyak perspektif tentang begitu pentingnya perjuangan ini,” kata dia.
Dalam paparannya, Radian Salman berbicara soal perlunya anggota DPR dari unsur perseorangan yang dipilih melalui Pemilu. Menurutnya dia, hal itu untuk memperkokoh kedaulatan dan keterwakilan rakyat dalam proses legislasi. Karena di UUD 45 naskah asli, pembentuk UU juga DPR, sama dengan Konstitusi hasil perubahan. Dikatakan, gagasan DPR dari unsur non partai tersebut memang baru di sistem ketatanegaraan kita, namun bukan hal baru di tempat lain.
“Di Eropa, dari 27 negara Uni Eropa, 12 diantaranya membuka calon perseorangan. Hal menarik lagi, di Afrika Selatan, April lalu resmi yang memberlakukan UU Pemilu yang di dalamnya terdapat calon perseorangan untuk nasional assembly (DPR),” tutur dia.
Dia tegaskan, unsur perseorangan di DPR memiliki keunggulan karena perseorangan lebih independen, karena tidak dipagari ideologi partai politik, sehingga lebih bebas memperjuangkan aspirasi rakyat.
“Yang terpenting adalah basis konseptual dan representasi adalah siapa mewakili siapa atau mewakili apa di unsur perseorangan,” ujar Radian.
Menurutnya, desain badan perwakilan dengan peserta dari parpol dan perseorangan bisa menimbang beberapa kriteria. Misalnya unsur perorangan berarti bukan pengurus parpol atau total tidak ada afiliasi, baik sebagai anggota maupun pengurus parpol.
“Kemudian jumlahnya seperti apa, apakah harus sama dengan jumlah anggota yang dari parpol. Lalu metode nominasi, syaratnya seperti apa, juga soal masa jabatan dan wewenangnya. Harus didetailkan,” papar dia.