
JAKARTA, Harnasnews – Pada hari Kamis, 13 Februari 2025 Presiden Prabowo Subianto mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR RI untuk Revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI).
Berdasarkan Rancangan Revisi UU TNI 2024 yang diperoleh oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (Koalisi RSK) terdapat beberapa perubahan yang akan mengembalikan peran dan fungsi sosial dan politik TNI seperti pada saat TNI menjadi tulang punggung pemerintahan Orde Baru.
Perubahan tersebut dapat memperluas penempatan di kementerian dan juga lembaga, serta perpanjangan masa pensiun prajurit. Koalisi memandang, langkah ini menunjukan cara pandang Prabowo terhadap sektor pertahanan yang masih sangat konservatif, tradisional dan non-reformis, Berdasarkan draft Revisi UU TNI versi Baleg DPR RI, terdapat dua usulan perubahan yang bermasalah yaitu:
Pertama, adanya perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif. Hal tersebut dapat dilihat pada usulan perubahan Pasal 47 Ayat (2) melalui penambahan frasa *“serta kementerian/ lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden”.
Pasal tersebut membuka peluang yang cukup luas serta dapat memberikan ruang kepada prajurit TNI aktif untuk ditempatkan pada kementerian dan lembaga di luar dari 10 kementerian dan lembaga yang telah ditetapkan dalam UU TNI.
Koalisi memandang, Perubahan Pasal 47 Ayat (2) ini sebenarnya tak lain merupakan upaya Prabowo untuk melegitimasi penempatan TNI aktif yang sudah dilakukannya secara tidak sah dan bertentangan dengan UU TNI sejak awal Pemerintahannya berlangsung, misalnya dalam penempatan Mayor Teddy sebagai Sekretaris Kabinet dan Mayjen TNI Novi Helmy sebagai Direktur Utama Perum Bulog. Parahnya, ketimbang melakukan evaluasi dengan mengacu kepada UU TNI, dalam konteks penempatan pada posisi Seskab, pemerintah justru melakukan akrobatik hukum dengan melakukan perubahan regulasi terkait struktur Seskab.
Sebelumnya, dalam Perpres No. 55 Tahun 2020 tentang Sekretariat Kabinet, Pasal 1 ayat (1) mengatur bahwa Sekretariat Kabinet berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Struktur ini kemudian diubah melalui Pepres No. 148 Tahun 2024 tentang Kementerian Sekretariat Negara.
Sebab dalam Pasal 48 ayat (1) Perpres a quo, Sekretaris Kabinet disebutkan menjadi bagian dari Sekretariat Militer Presiden. Pengintegrasian dan/atau menempatkan Seskab sebagai bagian dari Sekretaris Militer Presiden (Sesmilpres) berimplikasi terhadap legitimasi penempatan prajurit TNI pada jabatan Seskab ”tertular” dari legitimasi penempatan pada jabatan Sesmilpres, mengingat Sesmilpres termasuk ke dalam ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU TNI.
Perubahan regulasi ini tentu tidak serta merta mengubah analisis bahwa jabatan Seskab relevan untuk di duduki oleh prajurit TNI. Artinya, mudah menganalisisnya bahwa perubahan ketentuan tersebut tidak dilakukan berdasarkan relevansi dan urgensinya.
Secara komprehensif, Koalisi mencatat setidaknya terdapat 2.569 prajurit TNI aktif di jabatan sipil pada tahun 2023, dimana 29 prajurit diantaranya merupakan perwira aktif menduduki jabatan sipil di luar lembaga yang ditetapkan oleh UU TNI. Penempatan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil mengabaikan spesialisasi, kompetensi, pengalaman, serta masa pengabdian ASN di instansi terkait.
Selain itu, Perubahan ini juga dapat menjadi legitimasi kebijakan keliru dalam pelibatan dan mobilisasi TNI dalam menjalankan program-program Pemerintahan Prabowo dalam urusan sipil dan domestik, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Distribusi Gas Elpiji, ketahanan pangan, penjagaan kebun sawit, pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) serta penertiban dan penjagaan kawasan hutan bahkan sampai pengelolaan ibadah haji.
Koalisi menilai, kebijakan tersebut dapat membuat TNI berhadapan secara langsung dengan masyarakat lokal dan adat serta berisiko menimbulkan pelanggaran HAM.
Penguatan militerisme pada ruang-ruang sipil di awal pemerintahan Prabowo memperlihatkan watak dan substansi dwifungsi militer yang masih kental. Sebab pemerintahan menempatkan militer sebagai solusi atas semua problematika pembangunan (baca: supremasi militer), sehingga pelibatan militer dianggap menjadi manifestasi akselerasi pembangunan.
Paradigma ini memperlihatkan pejabat pemerintahan masih menempatkan kondisi Orde Baru sebagai patokan dalam pembangunan melalui dwifungsi ABRI ketika itu. Padahal berbagai perkembangan konsep pemerintahan, seperti _good governance hingga collaborative governance_ dapat menjadi konsep menuju pembangunan yang demokratis.
Penempatan TNI di luar fungsinya sebagai alat pertahanan negara bukan hanya salah, tetapi akan memperlemah profesionalisme TNI itu sendiri. Profesionalisme dibangun dengan cara meletakkan TNI dalam fungsi aslinya sebagai alat pertahanan negara dan bukan menempatkannya dalam fungsi dan jabatan sipil lain yang bukan merupakan kompetensinya.
Dampak lain dari penempatan prajurit TNI aktif pada jabatan sipil dan urusan sipil-domestik adalah mengenai akuntabilitas dan transparansi. Koalisi menilai sampai dengan saat ini tidak ada satu cabang kekuasaan atau lembaga apapun yang dapat mengawasi TNI secara efektif, sekalipun itu DPR RI. terlebih jika terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh TNI selama melaksanakan tugas pada jabatan sipil dan urusan sipil-domestik.
Selain itu kebijakan seperti ini juga dapat membuat hubungan sipil-militer menjadi tegang karena perubahan ini akan merusak pola organisasi, jenjang karir atau kebijakan dan manajemen ASN karena ceruk Prajurit TNI untuk mengambil alih semua jabatan sipil yang tersedia semakin luas.
Kedua, penambahan usia pensiun prajurit TNI. Usulan perubahan Pasal 53 Ayat (2) yang menambah masa usia pensiun prajurit TNI dari 58 tahun menjadi 60 tahun untuk perwira, serta dari 53 tahun menjadi 58 tahun untuk bintara dan tamtama.
Usulan tersebut akan memicu inefisiensi pada tubuh TNI, dapat menambah beban anggaran di sektor pertahanan, menghambat regenerasi, serta membuat macet jenjang karir dan kepangkatan. Kondisi tersebut akan melanggengkan masalah klasik dimana adanya penumpukan (surplus) perwira TNI non-job.
Alih-alih melakukan kebijakan percepatan pensiun terhadap perwira TNI non-job perubahan usia pensiun ini juga akan berpotensi mengkaryakan mereka di luar instansi militer seperti pada jabatan sipil dan urusan sipil-domestik lainya seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Ketiga, adanya upaya politisasi militer yang tertuang dalam pasal 53 Ayat (3), pasal ini memungkinkan perpanjangan masa jabatan bagi perwira tinggi bintang empat berdasarkan keputusan Presiden yang akan membuat perwira tinggi bintang empat tersebut rentan digunakan dalam agenda politik kekuasaan.
Mengingat bahwa Prabowo Subianto memiliki latar belakang militer, langkah ini semakin memperkuat dugaan bahwa revisi UU TNI didorong oleh kepentingan elit tertentu, bukan demi profesionalisme TNI.
Jika revisi ini tetap dijalankan, maka Indonesia akan menghadapi ancaman kembalinya Dwifungsi ABRI dalam politik dan pemerintahan, yang bertentangan dengan cita-cita reformasi.
Berdasarkan pandangan di atas, kami Koalisi RSK mendesak Pemerintah untuk menghentikan pembahasan revisi UU TNI. Seharusnya DPR dan Pemerintah tidak melanjutkan pembahasan revisi UU TNI dan memfokuskan pada mendorong agenda reformasi TNI yang mengalami regresi, membentuk UU Tugas Perbantuan, reformasi sistem peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial (Koter), melakukan evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI, serta membangun sistem pengawasan internal dan eksternal terhadap TNI yang efektif, akuntabilitas dan transparan.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan:
Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI Nasional, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)