KEMEN PPPA Dukung Percepatan Pengesahan UU-PKS
Jakarta,Harnasnews.com – Tingginya kasus kekerasan seksual di Indonesia khususnya terhadap perempuan dan anak sudah sangat memprihatinkan. Mirisnya, korban kekerasan seksual yang mayoritas perempuan dan anak akibat dari ketidaksetaraan gender (relasi kuasa yang timpang), tidak hanya mengalami penderitaan fisik dan psikis berupa trauma yang berkepanjangan, namun juga kerusakan organ reproduksi, serta penderitaan luar biasa yang menyebabkan cacat fisik bahkan hingga meninggal dunia.
“Pada 2016, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama Badan Pusat Statistik (BPS) telah melakukan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN), terhadap 9.000 sampel rumah tangga, diketahui terdapat 1.017 perempuan dan anak mengalami kekerasan seksual. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melansir laporan, bahwa sejak Januari sampai April 2017 terdapat 41 kasus kekerasan seksual dan eksploitasi seksual terhadap anak. Selain itu, berdasarkan Kompilasi Data di media elektronik yang dihimpun Kemen PPPA dari Januari sampai Maret 2016, terdapat 74 kasus kekerasan seksual dan eksploitasi seksual, dengan pelaku sejumlah 112, dan 102 anak menjadi korban kekerasan seksual dan eksploitasi seksual,” ungkap Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Vennetia R. Dannes dalam sambutannya saat membuka acara Diskusi Publik Pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual di Jakarta.
Vennetia menjelaskan bahwa korban kekerasan seksual yang mengalami penderitaan tentu memerlukan layanan dalam pemenuhan haknya, antara lain yaitu layanan kesehatan, rehabilitasi terhadap korban, reintegrasi sosial, bimbingan konseling, pendampingan dan bantuan hukum, serta perlu diupayakan mendapat kompensasi dan restitusi.
“Kemen PPPA sangat mendukung upaya DPR RI yang mengusulkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) kepada Menteri Sekretaris Negara pada 6 April 2017 dengan surat Nomor: LG/0621/DPR RI/IV/2017. Selanjutnya pada 2 Juni 2017 Presiden merespon DPR melalui surat nomor R-25/Pres/06/2017 perihal penunjukan wakil pemerintah yaitu Menteri PPPA, Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, Menteri PAN dan RB, serta Menkum dan HAM untuk membahas RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, baik secara sendiri mapun bersama-sama,” ujar Vennetia.
Vennetia menambahkan bahwa Pemerintah telah berupaya keras menindaklanjuti RUU PKS pada 28 April 2017 dalam rapat resmi di Setneg bersama 11 K/L untuk memenuhi 60 hari kerja proses dalam membuat daftar infentarisasi masalah atas RUU PKS. Pada 11 September 2017 daftar tersebut telah disampaikan ke DPR RI atas kesepakatan panitia antar Kementerian.
“Kemen PPPA melalui Deputi Perlindungan Hak Perempuan sudah banyak melakukan pembahasan RUU PKS, mewakili Pemerintah bersama lima Kementerian lainnya yaitu Kemendagri, Kemenkumham, Kemesos, Kemenkes, dan KemenPAN-RB mendorong pengesahan RUU PKS melalui diskusi dengan berbagai pihak. Sangat perlu adanya dukungan dari semua pihak dalam penghapusan kekerasan seksual. Tidak hanya Kemen PPPA, namun K/L lain, lembaga non pemerintah serta APH harus bersama-sama mensinkronkan RUU yang sedang berproses. Kita harus bermitra dan mengawalinya dengan semangat yang sama,” ungkap Plh. Sekretaris Kementerian PPPA, Titi Eko Rahayu dalam Talkshow Diskusi Publik Pembahasan RUU PKS hari ini.
Vennetia menegaskan bahwa RUU PKS diperlukan sebagai payung hukum yang sifatnya lex specialist untuk penegakan hukum yang efektif, dengan memuat 9 jenis kekerasan seksual, DIM pemerintah menghapus lima jenis tindak pidana menjadi 4 (empat) jenis tindak pidana yaitu pencabulan, persetubuhan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau tipu muslihat, eksploitasi seksual, dan penyiksaan seksual, tentunya dapat memperkuat undang-undang yang sudah ada. Namun, hambatan nyata yang selama ini dihadapi yaitu pembuktian ilmiah (scientific evidence-based) kasus kekerasan seksual yang dirasa sulit, sehingga RUU PKS diperlukan menjadi alat untuk pencegahan, penanganan dan pemulihan.
“DPR mendukung disahkannya RUU PKS ini dan menjadi prioritas untuk diputuskan. Perlu dilakukan FGD dengan APH, perguruan tinggi dan masyarakat/perwakilan provinsi tentang RUU PKS untuk menghindari cacat hukum dan implementatif. Sebagai bahan pertimbangan RUU PKS ini sebaiknya didasari pada pengalaman dan peristiwa sosial yang melanggar norma-norma,” ujar Ketua Komisi VIII DPR RI, Ali Taher.
Pembahasan RUU ini, perlu meninjau beberapa aspek dan perkembangan masalah yang terjadi di tengah masyarakat saat ini, serta memperhatikan implementasi maupun dampaknya, agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Diskusi Publik yang dihadiri 200 peserta ini dilaksanakan dalam bentuk Talkshow dengan Tema ”Refleksi dan Persepsi tentang RUU PKS” yang menghadirkan berbagai narasumber diantaranya yaitu Ketua Komisi VIII DPR RI, Ali Taher; Direktur Informasi HAM, KemenkumHAM, Suparno; Komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati; Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto; dan moderator yaitu Komisioner Ombudsman RI, Ninik Rahayu.
“RUU PKS harus segera disahkan sebagai alat penting yang sangat positif untuk mengatur dan memberikan efek jera bagi pelaku. Mari kita berkomitmen bersama dorong pengesahan UU-PKS,” pungkas Vennetia.(Red/Ed)