Kementerian Koperasi Dan UKM Terlihat Hanya Mengulang Kebijakkan Kuno
JAKARTA,Harnasnews.com – Kementerian Koperasi dan UKM telah memutuskan program kerja tahun 2020. Dalam rancang programnya ternyata tidak menunjukkan strategi program serius untuk merombak masalah mendasar koperasi dan UKM.
Menteri Teten Masduki telah menunjukkan semangat baru dengan lakukan pergantian pejabat strategis di tingkat eselon satu dan dua. Ini langkah penyegaran yang baik. Tapi lebih penting dari itu seharusnya fungsi Kementerian ini mustinya diperankan secara efektif dengan fokus mendorong regulasi dan kebijakan yang memberikan angin segar pembaharuan Koperasi dan UKM, bukan menyanyikan lagu lama yang kuno.
Jangan ulang kesalahan kebijakan lama. Sudah beratus trilyun dan bahkan ribuan trilyun program untuk pemberdayaan UMKM selama ini tapi hasilnya nihil. Struktur ekonomi masyarakat bukan semakin adil tapi justru membuat bisnis konglomerat semakin monopolistik. Aktornya ekonominya 98,9 persen tetap usaha mikro gurem.
Mustinya Menteri baru belajar dari kesalahan lama yang telah banyak perankan koperasi dan UKM semata hanya sebagai obyek program dan lakukan intervensi bisnis langsung tapi dampaknya tidak terlihat dan justru merusak mental masyarakat untuk berbisnis serius.
Saya melihat ada pikiran kuno yang dibawa dalam Kementerian ini, mereka mulai menyanyikan lagu lama bahwa Koperasi dan UKM itu akan berjalan efektif kalau komitmen anggaran Kementerian diperbesar.
Ini sepertinya sudah berjalin dengan Parlemen yang bersemangat untuk genjot anggaran Kementerian Koperasi dan UKM kedepan. Ada ” profit seeker” yang menunggu di balik kebijakan ini. Ini adalah bentuk kongkalikong baru.
Kementerian ini akan melakukan pengulangan kesalahan lama yang dilakukan sejak setengah abad lalu. Mereka melakukan kegiatan dengan lakukan intervensi langsung dalam model kebijakan paket input seperti akses kredit, bantuan sarana, pendidikan dan pelatihan, subsidi, kemitraan dan lain sebagainya.
Paradigma lama ini berulang, masalah Koperasi dan UKM dilihat semata kurangnya akses modal, lemah SDM, lemah pemasaran, dan lemah teknologi. Ini adalah mashab populis dalam paradigma kebijakan ekonomi neo-klasik. Hanya heboh dalam mencari sensasi tapi rendah kualitas substansinya.
Kalau Kementerian Koperasi dan UKM dan pemerintah itu secara serius mau dorong agar Koperasi dan UKM itu tumbuh dengan baik sebetulnya cukup sederhana. Berikan mereka insentif kebijakan dan hilangkan diskriminasi terhadap koperasi dan UKM dan hilangkan pemberian keistimewaan kepada pengusaha besar.
Selama ini model kebijakan paket input itu hanya berujung jadi omong kosong dan slogan karena dalam praktek mereka didiskriminasi dan digencet. Kemitraan semu yang manis seperti pola PIR ( Perusahaan Inti Rakyat) itu adalah salah satu model yang gagal total.
Kami telah melakukan analisis kebijakan dan regulasi secara mendasar. Koperasi sebagai bisnis itu didiskriminasi secara regulasi. Contohnya adalah dilarang menjadi badan hukum layanan publik, dilarang sebagai badan usaha untuk investasi asing, tidak boleh jadi badan hukum rumah sakit, dan lain sebagainya.
Kami dari Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis ( AKSES) telah membuat analisa pendahuluan serius. Koperasi yang mustinya jadi tulang punggung UKM dibuang dari regulasi-regulasi sektoral dan sengaja dilempar jauh agar tidak masuk lintas bisnis modern.
Kebijakan insentif untuk Koperasi dan UKM tidak ada, tapi justru untuk yang besar. Contoh kongkritnya adalah subsidi bunga untuk bankir dalam program Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk gencet pasar potensial lembaga keuangan mikro dan koperasi. Mereka yang kecil diterapkan model pajak final, tapi yang besar diberikan tax holiday ( pembebasan pajak).
Pada intinya, strategi program koperasi dan UKM yang dibuat itu adalah gambaran rendahnya komitmen kebijakan yang baik dari regulasi yang buruk.
Kami melihat walaupun berbagai masalah koperasi dan UKM dari segi regulasi banyak didiskriminasi tapi dalam pembahasan Omnibus Law yang ada juga tidak ada usulan yang signifikan dimasukkan sebagai usulan perubahan.(Idhar)