Ketika Daya Gugat Sipil Melemah dan Demokrasi Diambang Bahaya

Oleh: Mangesti Waluyo Sedjati

Dua dekade lalu, suara lantang mahasiswa mengguncang kursi kekuasaan. Intelektual tak segan menulis kritik tajam. Rakyat bersatu dalam satu barisan menuntut perubahan. Reformasi 1998 adalah puncak keberanian sipil: ketika keberanian melawan rezim otoriter mengalahkan rasa takut dan kenyamanan.

Namun hari ini, generasi yang dulu dikenal sebagai anak-anak revolusi… diam. Bukan karena tidak tahu apa yang terjadi, tapi karena memilih bungkam. Atau mungkin, sudah dibungkam oleh jabatan, fasilitas, atau kebingungan yang dibuat-buat.

Keheningan itu sangat terasa ketika menyaksikan dua peristiwa besar. Pertama, *saat revisi Undang-Undang TNI* digulirkan, suara protes bermunculan. Mahasiswa turun ke jalan, LSM bersuara keras, media menyorot dengan intens. Kekhawatiran akan kembalinya militer ke ranah sipil mencuat di ruang-ruang publik.

Namun, ketika RUU Polri mulai dibahas, dengan pasal-pasal yang mengandung potensi kekuasaan super tanpa batas, semua seolah sepakat untuk diam.
Tak ada unjuk rasa.
Tak ada diskusi publik.
Tak ada headline utama.

Padahal, isi RUU Polri ini tak bisa dianggap remeh. Draf yang beredar menunjukkan kecenderungan perluasan kekuasaan polisi secara signifikan:

  • Polisi akan mendapat kewenangan pengawasan digital dan siber, tanpa pengawasan independen yang ketat
  • Polisi bisa menjalankan fungsi intelijen, hingga menjangkau kehidupan sipil dan aktivitas privat warga.
  • Ada usulan perpanjangan masa jabatan Kapolri, yang membuka ruang kekuasaan berkelanjutan tanpa kontrol parlemen
  • Fungsi-fungsi baru yang tumpang tindih dengan lembaga sipil dan militer, menciptakan “superbody” yang menjamah semua lini.

Jika disahkan, polisi tidak hanya menegakkan hukum. Mereka bisa menjadi perancang hukum, penafsir hukum, dan pelaksana kekuasaan atas nama hukum tanpa cukup batasan dan pengawasan. Inilah cikal bakal negara polisi (police state) yang lahir lewat jalur sah, tapi tak demokratis.

Lantas mengapa publik lebih berani bersuara soal militer, tetapi diam saat polisi memperluas kewenangan?

Jawabannya bukan semata karena substansi hukum, tapi karena struktur kekuasaan sosial. Polisi jauh lebih dekat dengan kehidupan sipil: mereka hadir di kampus, di media, di ruang komunitas, hingga di medsos. Keberadaan yang melekat ini membuat banyak orang ragu untuk bersuara. Ketakutan tak lagi datang dari senjata, tapi dari akses dan kontrol informasi.

Selain itu, data menunjukkan kriminalisasi terhadap suara kritis meningkat. Amnesty International Indonesia mencatat lebih dari 150 kasus intimidasi dan represi terhadap aktivis serta pembela HAM sejak 2020. Di sisi lain, Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dirilis BPS tahun 2023 mencatat penurunan indikator kebebasan berpendapat dan protes damai di banyak provinsi. Sementara itu, Freedom House* menempatkan Indonesia dalam status partly free dengan skor kebebasan sipil hanya 56 dari 100 poin.

Kenyataan ini diperparah oleh lemahnya media dalam memainkan peran watchdog. Banyak media kini memilih “netralitas aman”, bukan karena objektif, tapi karena takut berhadapan dengan kekuasaan. Jurnalis lebih sibuk menjaga iklan dan relasi politik daripada menjaga integritas ruang publik.

Dalam diam ini, kita lupa satu hal penting: penjajahan tidak selalu datang dari luar negeri.  Ia bisa datang lewat pasal-pasal yang tak kita baca, lewat regulasi yang tak kita awasi, lewat institusi yang tak kita gugat.

Dan saat aparat penegak hukum menjadi pengendali hukum, maka rakyat hanya tinggal sebagai objek bukan subjek dalam negara yang katanya demokratis.

Lalu, di mana anak-anak reformasi sekarang?

Dulu mereka berorasi, kini lebih sibuk mengejar sertifikat. Dulu mereka menulis editorial tajam. kini *menulis status aman. Dulu *mereka menolak diam, kini diam adalah pilihan paling nyaman.

Tentu tidak semuanya seperti itu. Tapi kenyataannya, gelombang resistensi sipil terhadap RUU Polri nyaris tak terlihat. Kita menyaksikan bagaimana reformasi kehilangan arah, karena pengawalnya kehilangan nyali. Kita sedang menggali lubang demokrasi dengan tangan kita sendiri.

Namun belum terlambat. Masih ada waktu untuk membalik keadaan. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan:

Leave A Reply

Your email address will not be published.