
Oleh: Yusuf Blegur
Narasi 11 dari 100 dalam debat capres 2024 lalu yang mengangkat kinerja salah satu kandidatnya, sejatinya bukan hanya sekedar kemunculan angka. Perspektif itu harus dilihat sebagai sebuah substansi yang mengangkat pertanggungjawaban moral, etika dan hukum yang berlangsung terus-menerus.
Lagi-lagi waktu membuktikan kebesarannya. Kebenaran dan kebohongan atau kejahatan bersaing keras mendapatkan pengakuan sejarah. Berkelindan, bergelut dan kolosal dalam pertarungan politik dunia. Ia membuat kemenangan dan kekalahan sebagai sesuatu yang lumrah. Menampilkan sisi-sisi manusiawi dan tragedi, membidani kelahiran pahlawan atau pengkhianat. Sejatinya waktu yang membeberkan siapa dan apa yang sesungguhnya berlaku. Faktanya kemudian, ia menjadi sejarah yang tak terbantahkan.
Bangsa Indonesia selayaknya merefleksikan dan mengevaluasi momen debat pilpres 2024 lalu. Saat debat capres terlontar penilaian angka 11 dari 100 pada kinerja salah satu capres yang menjadi menteri pertahanan. Premis itu menjadi kontroversi sekaligus polemik, bagi yang menilai dan dinilai. Namun sering waktu, tak berselang lama dan tidak membutuhkan proses dan uji sejarah yang panjang, logika itu mewujud. Menjadi relevan, implementatif dan sebuah manifestasi.
Setelah melewati 100 hari menjabat presiden, penilaian itu menjadi relevan sekaligus faktual. Angka itu muncul bukan hanya dari sekedar asumsi. Ia lahir dari intuisi yang teruji. Menampilkan kekayaan integritas dari proses dinamis intelektual dan spiritual. Mengisi kehidupan dengan kepribadian sarat karakter, mampu menjawab tantangan sosial dengan kesolehan sosial.
Moral dan mentalnya begitu tangguh jika hanya digerus oleh manipulasi konstitusi dan demokrasi. Ahlaknya bahkan tak pernah tunduk pada kejahatan sekalipun terstruktur, sistematis dan masif. Ia berani lantang berhadapan pada keramaian penyimpangan. Namun tetap menjunjung tinggi hukum dan etika, membuat nyaman dirinya pada ruang beradab negara.
Sebaliknya, yang menyandang penghakiman 11 dari 100 justru terus memvalidasi dan mengokohkan kepastiannya. Rendah, jauh dari standarisasi dan memang angka yang tak pantas bahkan hanya untuk sebuah ekspektasi. Dari 11 ke 100, mungkin saat ini dan kedepannya menjadi 11 dari 1000. Begitulah hukum moral menantang, kebenaran tetap akan menghadirkan kebenaran. Kebohongan atau kejahatan hanya akan mendatangkan kebohongan dan kejahatan berikutnya. Lagi dan lagi.
Penulis: Mantan Presidium GMNI