JAKARTA, Harnasnews – Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri menyikapi adanya anomali demokrasi dalam pelaksanaan pemilihan presiden 2024.
Bahkan, putri sang proklamator itu menilai pelaksanaan Pilpres itu tidak sejalan dengan semangat reformasi yang lahir lantaran ada pemerintahan otoriter dan keinginan mewujudkan demokrasi yang beradab.
“Reformasi lahir sebagai koreksi menyeluruh terhadap watak pemerintahan otoriter, untuk mewujudkan negara hukum yang demokratis. Dalam proses ini, partai politik, pers, supremasi hukum, sistem meritokrasi, dan Pemilu yang jurdil harus hadir sebagai satu ekosistem demokrasi,” kata Megawati saat memberikan pidato politik dalam Rakernas Ke-V PDIP di Beach City International Stadium Ancol, Jakarta, Jumat (24/5/2024).
Dia pun menceritakan bagaimana reformasi membuat TNI dan Polri harus berpisah untuk menciptakan lembaga yang lebih profesional, melepaskan dwi fungsi angkatan bersenjata serta bisa bersikap netral dalam setiap pesta demokrasi.
“Dalam masa kepemimpinan saya sebagai Presiden ke-5 Republik Indonesia, reformasi telah memisahkan TNI dan POLRI. Kedua lembaga negara ini dituntut profesional, melepaskan dirinya dari Dwifungsi ABRI, dan bersikap netral dalam setiap pesta demokrasi,” tutur Megawati.
Dirinya pun mengisahkan saat menerima penugasan untuk memisahkan TNI dan Polri tersebut, dimana suasana kebatinan saat itu berangkat dari kenyataan terkait bagaimana ABRI selama Orde Baru digunakan sebagai mesin politik melalui fungsi sosial politiknya.
“Pemisahan ini, jangan lupa ini keputusan MPR. TAP MPR-nya ada. Dilakukan sebagai kehendak rakyat. Dalam proses itu saya berharap agar TNI dan Polri dapat belajar dari para seniornya,” ungkap Megawati.
Oleh karen itu ia berharap agar polri bisa belajar dari Panglima Besar Jenderal Sudirman yang disebutnya sangat sederhana sekali. Kemudian ada sosok seperti Oerip Sumohardjo, Gatot Subroto dan lainnya.
“Menurut saya mereka orang yang punya karakter,” kata Megawati.
Sementara di Polri ada sosok Jenderal Pol Hoegeng yang juga sederhana. Di mana dia mengenal kepribadiannya.“Kapan polisi seperti Pak Hoegeng lagi ya?,” tanya Megawati.
Dia pun menceritakan bagaimana pernah melihat Hoegeng berpakaian lengkap polisi dengan bintang jenderalnya, tapi masih menggunakan sepeda.
“Om ngapain naik sepeda, orang pakaian jenderal nanti diomongin orang. Loh ini namanya jenderal merakyat,” cerita Megawati.
Namun menurutnya, kondisi ideal yang dituju itu kini malah terancam. Yakni saat ada indikasi kuat intimidasi oleh aparat ke sejumlah pihak. Bahkan sampai TNI dan Polri dibawa lagi ke politik praktis.
“Sebagaimana kita rasakan dalam pilpres yang baru saja berlalu. Saya itu sedihnya gitu, saya ini presiden ketika pemilu langsung pertama dan berhasil. Sekarang pemilunya langsung tapi kok jadi abu-abu,” kata Megawati.**