
JAKARTA, Harnasnews – Koalisi Masyarakat Sipil menolak keras wacana revisi UU TNI. Koalisi ini mulai dari akademisi, mahasiswa, korban tindak kekerasan TNI, hingga kelompok pro demokrasi. Penolakan tersebut disampaikan secara serentak di Kedai Tjikini, Jalan Cikini Raya, Menteng, Jakarta Pusat, Senin, 17 Maret 2025.
Ada beberapa tokoh yang hadir dalam acara tersebut. Antara lain seperti pemikir kebangsaan Sukidi, Guru Besar UI Sulistyowati Irianto, Ketua Divisi Hukum KontraS Andrie Yunus, hingga aktivis hak asasi manusia Maria Catarina Sumarsih.
Dalam keterangan resminya yang disampaikan secara serentak dalam acara tersebut, mereka mengkritik mengenai pemerintah yang telah menyampaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Revisi UU TNI kepada DPR, 11 Maret 2025. DIM itu dinilai bermasalah. Terdapat pasal-pasal yang akan mengembalikan militerisme atau Dwifungsi TNI di Indonesia.
“Kami menilai agenda revisi UU TNI tidak memiliki urgensi transformasi TNI ke arah yang profesional. Justru akan melemahkan profesionalisme militer. Sebagai alat pertahanan negara, TNI dilatih, dididik dan disiapkan untuk perang, bukan untuk fungsi non-pertahanan seperti duduk di jabatan-jabatan sipil,” katanya.
Mereka berpendapat, dalam konteks reformasi sektor keamanan, semestinya pemerintah dan DPR mendorong agenda reformasi peradilan militer melalui revisi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Agenda revisi UU ini dinilai lebih penting ketimbang RUU TNI, karena agenda itu merupakan kewajiban konstitusional negara untuk menjalankan prinsip persamaan di hadapan hukum bagi semua warga negara, tanpa kecuali. Reformasi peradilan militer merupakan mandat TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI.
“Kami menilai RUU TNI akan mengembalikan Dwifungsi TNI, yaitu militer aktif menduduki jabatan-jabatan sipil. Perluasan penempatan TNI aktif itu tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko memunculkan masalah, seperti eksklusi warga sipil dari jabatan sipil, menguatkan dominasi militer di ranah sipil dan memicu terjadinya kebijakan maupun loyalitas ganda. Selain itu, merebut jabatan sipil dan memarginalkan ASN dan Perempuan dalam akses posisi-posisi strategis,” jelasnya.
Perluasan jabatan sipil dalam RUU TNI itu diantaranya adalah dengan menempatkan militer aktif di Kejaksaan Agung hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan. Perlu diingat, TNI adalah alat pertahanan negara untuk perang, sedangkan Kejaksaan Agung, adalah lembaga penegak hukum.
“Maka, salah jika anggota TNI aktif duduk di institusi Kejaksaan Agung. Dan salah, jika ingin menempatkan militer aktif di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dua contoh itu cerminan praktik dwifungsi TNI,” ujarnya.
Mereka juga menuntut berbagai pelanggaran terhadap UU TNI selama ini di evaluasi dan dtertibkan. Mereka juga mendesak agar anggota TNi aktif yang menduduki jabatan sipil diluar yang sudah diatur dalam Pasal 47 avat 2 UU TNI agar segera mengundurkan diri.
“Selama ini banyak anggota TNI aktif yang duduk di jabatan sipil tanpa mengundurkan diri terlebih dahulu, diantaranya Letkol Tedy sebagai Sekretaris Kabinet dan kepala sekretariat presiden Mayor Jenderal Ariyo Windutomo dan lain lain,” katanya.
Lebih dari itu, seluruh kerjasama TNI yang didasarkan pada beragam MoU yang memberi ruang militer masuk dalam ranah sipil dengan dalih operasi militer selain perang perlu ditinjau ulang karena tidak sejalan dengan UU TNI.
Pelibatan militer dalam operasi selain perang hanya bisa dilakukan atas dasar keputusan politik negara bukan melalui MoU bagaimana ditegaskan dalam Pasal 7 ayat 3 UU TNI. Tidak di benarkan konstruksi politik hukum RUU TNI untuk menjustifikasi berbagai pelanggaran yang sudah ada.
“Kami memandang bahwa perluasan tugas militer untuk menangani narkotika adalah keliru dan bisa berbahaya bagi negara hukum. Penanganan masalah narkotika utamanya berada dalam koridor kesehatan, penegakkan hukum yang proporsional, bukan perang,” ujarnya.