SURABAYA, Harnasnews – Pada 24 Februari 2022, Rusia melancarkan invasi berskala besar ke Ukraina, salah satu negara tetangganya di sebelah barat daya. Invasi ini menandakan peristiwa penting dalam perang Rusia-Ukraina yang dimulai tahun 2014.
Beberapa pejabat dan analis menyebut invasi tersebut sebagai serangan militer konvensional terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II.
Terkait dengan adanya perang yang tengah berkecamuk Ukraina, Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya Dr. Tomy Michael, S.H., M.H. memberikan pandangannya dalam perspektif hukum internasional.
“Secara hukum, peperangan dapat dimandatkan oleh PBB atau dalam rangka membela diri,” sebutnya, Selasa (15/3/2022).
Menurut Dosen Fakultas Hukum Untag Surabaya yang menjabat Kepala Publikasi dan HKI LPPM ini menyebutkan bahwa, Putin tidak pernah sekalipun mendeklarasikan istilah perang atau invasi namun lebih mempertahankan negaranya.
“Secara ilmiah, konflik terjadi karena Rusia masih terkenang era Nicholas II of Russia yang wilayahnya amat besar, sehingga Putin ingin mengambil kembali wilayah negaranya. Jadi mari menjauhkan diri dari makna aneksasi (pencaplokan wilayah),” jelasnya.
Tomy menyebutkan bahwa Indonesia harus aktif dalam menyuarakan perdamaian dan dirinya tidak setuju dengan diamnya Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara.
“Ketika Presiden Jokowi mengatakan ‘Stop Perang’ di media sosialnya, maka hal itu bijaksana karena mengacu Pasal 2 ayat (3) Charter of the United Nations and Statute of the International Court of Justice bahwa negara wajib menyelesaikan apapun secara damai karena kepentingan internasional akan terganggu,” paparnya.
Tomy menegaskan bahwa Indonesia tetap harus punya pendirian dan mempertimbangkan segala keuntungannya.
“Presiden Joko Widodo wajib berkata stop perang sesuai cuitan (media sosial)-nya dengan menelpon langsung kedua pemimpin negara,” ungkapnya.
Sementara itu, menurut Guru Besar Administrasi Publik – Prof. Dr. Agus Sukristyanto, MS mengapresiasi pernyataan Menteri Keuangan RI – Sri Mulyani Indrawati terkait dampak konflik yang perlu diwaspadai oleh Indonesia karena dapat berdampak geopolitik baik secara politik maupun ekonomi.
“Untuk Indonesia, karena faktor jarak maka secara politik tidak berdampak, mengingat konflik melibatkan dua negara di Eropa Timur,” paparnya saat ditemui di Kantor FISIP Untag Surabaya.