“Jalan yudisial dan non-yudisial merupakan proses yang berbeda. Akan tetapi, perlu ditempuh kedua-duanya untuk memastikan tercapainya aspek-aspek keadilan transisional yang diakui komunitas internasional sebagai metode menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu,” kata Jaleswari dalam siaran pers di Jakarta, Sabtu.
Jaleswari mengatakan bahwa metode penyelesaian PHB masa lalu meliputi aspek kebenaran, keadilan, pemulihan, dan jaminan ketidakberulangan.
Menurut dia, jalur penyelesaian yudisial dan non-yudisial bersifat saling melengkapi atau komplementer, bukan saling menggantikan untuk memastikan penyelesaian kasus secara menyeluruh.
Jalur yudisial diatur oleh UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sementara itu, jalur non-yudisial dapat turut diintervensi melalui produk eksekutif.
Meski demikian, Jaleswari memandang kedua jalur tersebut saling melengkapi dan menyempurnakan. Keduanya dapat dijalankan secara paralel.
Ia menuturkan bahwa mekanisme non-yudisial merupakan upaya pemerintah memberi prioritas pada pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat.
Bila mekanisme yudisial berorientasi pada keadilan retributif, mekanisme non-yudisial berorientasi pada pemulihan korban dan lebih memungkinkan atas terwujudnya hak-hak korban, seperti hak untuk mengetahui kebenaran, hak atas keadilan, hak atas pemulihan, dan hak atas kepuasan.
“Mekanisme non-yudisial memberi kesempatan yang besar kepada korban didengar, diberdayakan, dimuliakan, dan dipulihkan martabatnya melalui pengungkapan kebenaran, pemulihan, fasilitasi rekonsiliasi, memorialisasi, dan lain sebagainya,” jelasnya, dikutip dari antara.