Menurut LaNyalla, berdasarkan keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu, penguatan itu diperlukan karena DPD sebagai perubahan dan penyempurnaan wujud utusan daerah dan golongan justru kehilangan hak dasar sebagai pemegang kedaulatan rakyat yang didapat melalui pemilu.
“Padahal, DPD sama-sama “berkeringat” seperti partai politik,” ujarnya dalam acara Forum Komunikasi dan Diseminasi Program Kerja dengan Media dan Refleksi Akhir Tahun DPD RI bertema “Penguatan Peran dan Fungsi DPD RI sebagai Amanat Bangsa”, Bandung, Jawa Barat, Jumat (3/12).
Menurutnya, amendemen konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 ditujukan agar Indonesia menjadi lebih demokratis sekaligus mengoreksi kelemahan beberapa pasal di naskah asli UUD 1945. Namun yang terjadi, lanjut LaNyalla, sistem tata kelola negara Indonesia berubah total.
Dilansir dari antara, LaNyalla menjelaskan Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Utusan daerah dan utusan golongan dihapus, lalu digantikan DPD.
Sebelum amandemen konstitusi tahap pertama sampai keempat, ujar dia, MPR yang terdiri dari anggota DPR, utusan daerah, dan utusan golongan mendapat mandat rakyat untuk memilih presiden dan wakil presiden.
Dengan demikian, ketiga komponen itu dapat mengajukan atau mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden.
“Setelah amendemen 1 sampai 4, DPD tidak mempunyai hak itu. Inilah yang saya sebut kecelakaan hukum yang harus dibenahi. Hak DPD RI harus dikembalikan atau dipulihkan,” tegasnya.