Berkaca dari pengalaman pemilhan Presiden dan Wakil Presiden yang lalu terkait dengan gugatan yang diajukan pasangan Capres dan Wapres no urut 1 dan 3 ke Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan program bantuan pemerintah yang didistribusikan pada saat pemilu lalu banyak menimbulkan dinamika dan berdebatan publik apakah hal tersebut tidak termasuk dalam politisasi program pemerintah atau bisa dikatakan sebagai bentuk money politik?
Memang kalau dikaji secara aturan hal ini secara tegas melarangnya akan tetapi beberapa pakar/ahli hukum menginterpetasikan berbeda, ada yang menyatakan itu bentuk pelanggaran ada juga yang menyatakan tidak.
Sehingga untuk menjembatani hal ini, maka beberapa lembaga negara seperti Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) serta Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan himbauan terkait Larangan Penyaluran Bansos atau program bantuan pemerintah pada pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 ini.
Hal ini dilakukan semata-mata sebagai langkah pencegahan dan antisipati agar tidak terjadinya politisasi yang dilakukan oleh salah satu atau salah dua dari kandidat yang akan berlaga pada kontestasi ini.
Program Bantuan Pemerintah (Bansos) memang menjadi salah satu instrumen vital dalam upaya pemerintah untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Namun, sayangnya, bantuan ini sering kali dieksploitasi untuk kepentingan politik, terutama menjelang pemilihan umum (pemilu) maupun pemilihan kepala daerah (pilkada).
Saat menjelang pemilu atau pilkada, bantuan pemerintah sering dijadikan alat oleh para politisi untuk mendapatkan dukungan politik dari masyarakat.
Praktik ini seringkali berupa pembagian bansos secara masif dengan tujuan mendapatkan simpati dan dukungan suara dari penerima bansos. Politisi sering menggunakan momen penyaluran bansos sebagai ajang kampanye politik informal (terselubung) yang dapat menciptakan ketidakadilan dan ketimpangan dalam proses politik.
Tidak hanya pada tingkat nasional, dalam konteks politik lokal, penyaluran bansos menjelang pilkada juga menjadi perhatian utama.
Politisasi bansos terjadi ketika bantuan tersebut dimanfaatkan oleh pihak-pihak politik untuk kepentingan tertentu di arena politik.
Acap kali menjelang pemilihan pemilihan daerah, bansos sering digunakan sebagai alat untuk memperoleh dukungan politik dari masyarakat, dengan pembagian bantuan yang dihubungkan dengan kampanye politik atau syarat dukungan terhadap calon tertentu. Dampak dari eksploitasi dan politisasi bansos sangatlah merugikan bagi masyarakat yang seharusnya menjadi sasaran utama dari program tersebut.
Masyarakat rentan yang seharusnya mendapatkan manfaat dari bansos seringkali menjadi korban dari praktik-praktik yang tidak bermoral ini.
Eksploitasi dan politisasi bansos juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga penyelenggara bansos, yang pada akhirnya dapat mengancam stabilitas sosial dan politik di daerah.
Penulis juga akan mengurai aturan larangan terkait dengan kepala daerah melakukan penyaluran bantuan sosial atau program-praogram pemerintah dalam proses pemilihan kepada daerah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Bahwa Pasal 71 ayat (3) UU 10 Tahun 2016 menyatakan “Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih”.
Pelanggaran atas undang-undang yang dimaksud kepala daerah yang maju lagi sebagai calon (petahana) dapat dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon dan sanksi pidana pemilihan sesuai yang tercantum dalam undang-undan 10 tahun 2016 sebagaimana diubah terakhir menjadi UU. 6 tahun 2020.
Pasal 71 ayat (3) ini mengandung anasir-anasir pasal sebagai berikut subjek hukum yang dilarang adalah Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota.
Termasuk di dalamnya Penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati/Walikota sebagaimana ditentukan dalam Pasal 71 ayat (4). Subjek hukum yang dilarang Pasal 71 ayat (3) dan ayat (4) tidak hanya bagi petahana (yang mencalonkan), tetapi juga non petahana (yang tidak mencalonkan).
Perbuatan yang dilarang adalah menggunakan wewenang, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
Penggunaan wewenang, program, kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon oleh petahana maupun non petahana tidak hanya ditujukan terhadap salah satu pasangan calon di daerah yurisdiksi kekuasaannya, tetapi juga di daerah lain yang bukan daerah yurisdiksi kekuasaannya, semisal penggunaan wewenang, program, dan kegiatan oleh Gubernur atau Wakil Gubernur terhadap salah satu pasangan calon Bupati/Walikota atau Wakil Bupati/Walikota atau pun sebaliknya.
Program dan kegiatan pemerintah daerah berarti upaya atau kegiatan untuk mewujudkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan dalam dokumen rencana program dan anggaran pembangunan daerah baik RPJMD, RKP, maupun APBD.
Frasa “menguntungkan dan/atau merugikan” berkaitan erat dengan perbuatan hukum seseorang yang sedang memegang jabatan publik dalam melakukan tindakan yang melawan hukum (misconduct) yang dapat membawa dampak yang menguntungkan atau merugikan pihak tertentu dalam sebuah proses pemilihan. Dalam konteks pemilihan, perbuatan hukum semacam ini juga dinilai melanggar prinsip netralitas public service.
Dengan mengacu pada Putusan MK Nomor 03/PUU-III/2006 (unsur merugikan negara merupakan delik formil (bukan delik 10 materiil), sehingga tidak perlu dibuktikan ada tidaknya kerugian negara melainkan cukup membuktikan telah adanya unsur perbuatan melawan hukum, serta mempertimbangkan tingkat kesulitan dalam pembuktian serta limitasi waktu dalam hukum acara pemilu, maka pemaknaan frasa “menguntungkan dan/atau merugikan” dalam Pasal 71 ayat (3) hendaknya dimaknai sebagai delik formil dalam arti delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
Dengan demikian tidak diperlukan adanya akibat apakah benar pasangan calon mendapat keuntungan atau mendapat kerugian, dengan terjadinya tindak pidana sudah dinyatakan tindak pidana tersebut telah terjadi. Dengan demikian alat pembuktian yang diperlukan untuk keterpenuhan unsur ini adalah bukti terkait terjadinya peristiwa hukum itu sendiri misalnya photo, rekaman audio visual, dan lain-lain.
Selain itu pemaknaan frasa “menguntungkan dan/atau merugikan” sebagai delik formil ini telah didukung dengan adanya jurisprudensi putusan Nomor 1/Pid.Sus/2018/PN Rbi. Dalam pertimbangan hukumnya hakim berpendapat bahwa unsur keputusan dan/atau tindakan yang “menguntungkan dan/atau merugikan” tidak dapat dimaknai secara sempit dalam arti materiil, melainkan harus dimaknai secara luas dalam arti formil, dalam arti suatu perbuatan akan berimplikasi pada dapat tidaknya suatu pasangan calon atas perbuatan tersebut akan mendapatkan keuntungan atau kerugian.
Oleh karena itu kami meminta kepada lembaga negara seperti Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD),Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) maupun Kementerian Dalam Negeri sebagai lembaga yang berwenang dan beri mandat oleh undang-undang agar tetap objektif dan tegas dalam menjalankan peraturan perundang-undangan.
Tindak tegas pelanggaran-pelanggaran pemilihan agar terciptanya pemilihan yang tertib serta berkeadilan.
Hentikan praktek-praktek manipulasi dan politisasi anggaran negara maupun daerah yang dilakukan kandidat terutama calon petahana yang masih memiliki akses terhadap penggunaan anggaran negara maupun daerah, dikarenakan hal ini dapat mencorengkan wajah demokrasi di tanah samawa yang kita cintai ini.
Kami minta kepada aparat penegak hukum untuk mengawasi secara ketat terhadap politisasi dan manipulasi kewenangan,program maupun kegiatan pemerintah saat proses pemilihan berlangsung bila perlu ditunda atau dihentikan sementara agar tidak terjadi konflik kepentingan serta tidak menjadi permasalahan di kemudian hari sehingga dapat mencederai proses pesta demokasi.
Komisioner Bawaslu Priode 2018-2023.