JAKARTA, Harnasnews – Isu soal dugaan kecurangan pemilihan presiden (Pilpres) 2024 yang terstruktur sistematis dan masif (TSM) dinilai perkara yang sulit untuk dibuktikan.
Pasalnya, pilpres itu sangat berbeda dengan pemilihan anggota legislatif (Pileg) atau pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang pernah diulang karena kecurangan TSM.
“Untuk tingkat nasional, memang terlalu sulit membuktikannya. Kita kan enggak bisa mengeneralisasi,” Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2003-2008, Jimly Asshiddiqie dalam program GASPOL! yang dikutip dari Youtube Kompas.com, Sabtu (2/3/2024).
Justru, kata Jimly, kecurangan Pilpres 2019 lebih parah dibanding Pilpres 2024. Itu karena Joko Widodo (Jokowi), yang saat itu menjabat presiden, mencalonkan lagi sebagai calon presiden.
“Sebenarnya 2019 itu lebih parah. Karena presidennya itu kampanye langsung, incumbent dan itu pemilu serentak juga,” ujar Jimly.
“Pilpres 2019 lebih ribet, dia (Jokowi) presiden. Dia berkampanye. Ke mana kira-kira sikap kepala desa?” kata Jimly lagi.
Mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum dan Ketatanegaraan itu juga meminta agar pihak-pihak yang menyuarakan hak angket tidak dihalangi.
Diketahui, wacana menggulirkan hak angket di DPR RI guna menyelidiki dugaan kecurangan Pilpres 2024 mencuat.
Menurut Jimly, hak angket bisa digunakan untuk menyalurkan kekecewaan publik. “Proses hukum ini jalanin saja. Tetapi proses politik ini enggak usah dihalangi juga, biar saja. Karena ini kan menyalurkan kekecewaan melalui ruang sidang forum politik di DPR, forum hukum di Bawaslu dan MK,” ujar Jimly.
Pakar hukum tata negara itu menyebut, hak angket untuk memindahkan kemarahan publik ke ruang sidang. “Memindahkan kemarahan dari jalanan, bakar-bakar ban, ke ruang sidang. Ini harus disadari,” kata Jimly. “Kita salurkan kekecewaan para pengusung ini ke ruang sidang,” ucap dia. (Red)