JAKARTA, Harnasnews – Center for Public Policy Studies (CPPS) Indonesia menilai, untuk sekian kalinya, Mahkamah Konstitusi (MK) secara sadar mencoreng marwahnya tanpa malu. Integritasnya tergadai. Tak lagi bisa diharapkan sebagai benteng penegak konstitusi yang jernih, berkadilan untuk rakyat dan negeri.
“Dan kali ini, terjadi lagi pencorengan itu. Yaitu, sebuah putusan yang secara substansial mengabulkan gugatan perubahan batasan minimal usia calon presiden dan atau wakil presiden,” ungkap direktur analis CPPS Indonesia, Agus Wahid dalam keterangannya yang diterima Harnasnews, Rabu (18/10/2023).
Meski batasan usia maksimal 40 tahun masih dipertahankan, namun batasan usia itu “dihempaskan” atau dieliminasi dengan frasa “dan atau pernah menjabat sebagai kepala daerah”, padahal tak ada dalam materi gugatan.
Dia pun menilai bahwa arah dari putusan MK itu mengakomodasi kepentingan politik keluarga (keponakan), yakni Gibran, yang kini masih berusia sekitar 35 tahun, yang saat ini masih menjabat sebagai Walikota Solo, bukan sekedar pernah.
“Yang perlu kita cermati lebih jauh, apakah sekedar mengakomodasi kepentingan istana dan itu konsekuensi dari ketundukannya terhadap titah sang kakak ipar? Atau memang, ada skenario menggagalkan agenda pemilihan presiden (Pilpres) yang pada 19 Oktober besok, sudah dibuka pendaftaran pasangan capres-cawapres secara resmi,” ungkap Agus.
Menurut dia, kedua variabel itu sulit dibantah. Di satu sisi, jauh sebelum MK memutus perkara yang sangat kontroversial itu, sudah terbaca skenario putusan yang sama sekali bukan otoritasnya. Secara konstitusi, batasan usia capres-cawapres memang hasil legislasi DPR RI.
Namun, Ketua MK selaku person yang lebih punya wewenang dibanding hakim lainnya memainkan peranan politik hukum untuk memfasilitasi kepentingan politik keponakannya, dan atau keluarga istana itu.
“Kini sebagai sisi lain kita menatap implikasi dari putusan MK. Tak lama setelah disampaikan putusan itu, sejumlah elemen bereaksi negatif dan secara ekstensif mereka mempersiapkan gelombang perlawanan terhadap putusan MK itu,” tandasnya.
Lebih lanjut, reaksi barisan mahasiswa ini tak bisa dipandang sebelah mata. Dengan catatan yang sangat kontras bahwa rezim ini jelas-jelas telah menggunakan kekuasaannya untuk melanggar konstitusi meski kali ini melalui tangan MK, namun barisan mahasiswa di seluruh tanah air sudah menyatakan satu opsi untuk lawan.
Dikatakannya, bukan hanya mendesak MK harus mencabut putusan kontroversial itu, tapi juga mengarah pada status rezim ini, yang notabene masih berkuasa secara sah menurut hukum. Sebuah status yang sejatinya perlu dipertanyakan.
“Kini, kita perlu meneropong seberapa besar tingkat eskalasi perlawanan mahasiswa. Setidaknya, ada dua skenario yang perlu kita baca. Pertama, jika murni perlawanan mahasiswa tanpa membersamakan elemen tentara dan rakyat, perlawanan itu akan “kempes”di tengah jalan,” tegasnya.
Dirinya juga menduga, gerakan moral mereka cukup mudah digembosi dengan pendekatan politik kooptasi. Para pentolannya dirangkul dengan sejumlah iming-iming fasilitas tertentu. Ketika pendekatan ini efektif, maka seruan perlawanan itu pada akhirnya menguap.
Namun, sebagai skenario kedua gerakan mahasiswa sangat mungkin disambut positif oleh elemen rakyat dan tentara. Jika kebersamaan aksi perlawanan ini murni, maka akan memerlukan rentang waktu. Tidak cukup dengan hitungan jam atau sehari-dua hari, apalagi durasinya dibatasi, misalnya turun sekitar jam 14:00 – 18:00. Segenuin apapun gerakan yang berbatas waktunya sulit diharapkan hasil akhirnya.
“Namun inilah yang layak kita curigai, jika gerakan mahasiswa langsung mendapat responsi publik secara meluas dan di dalamnya terdapat anasir rezim yang terlibat langsung, maka implikasinya akan segera meledak secara nasional. Jika hal ini terjadi, maka skenario cheos tampak sedang dimainkan,” jelas Agus. (Red)