Menyikapi Penanganan Sampah Plastik Di Indonesia
Oleh Lintong Manurung
Dengan berkembangnya penggunaan plastik dan bertumbuhnya industri plastik sejak tahun 1950 sampai dengan sekarang, komoditas plastik ini sudah bersinggungan dengan seluruh kegiatan ekonomi dan industri diseluruh dunia, Perkembangan ekonomi dan berkembangnya inovasi diberbagai sektor ekonomi negara-negara maju didunia tidak terlepas dari dukungan pertumbuhan plastik.
Sebagaimana digambarkan oleh konsumsi plastik perkapita oleh beberapa negara seperti: Vietnam = 42,1 kg/kapita, Jepang =69,2 kg/kapita, Jerman = 95,8 kg/kapita dan Korea = 141 kg/kapita.
Konsumsi plastik Indonesia saat ini baru mencapai 19.8 kg/kapita. Dengan memanfaatkan sifat-sifat dan karakteristik yang baik dan menguntungkan dari plastik antara lain seperti : murah dan mudah didapat, mudah dibentuk, kuat, konduktivitas listrik rendah dan berbagai sifat fisik dan kimia yang baik, penggunaan plastik sudah merupakan bagian dari perkembangan ekonomi dan peradaban dunia. Plastik sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam aktivitas dan kehidupan manusia.
Gambaran awal mengenai kerusakan dan ancaman lingkungan hidup akibat pencemaran sampah plastik, dimulai dengan adanya kajian dari Industrial ecologist, Roland Geyer, Jenna R Jambeck Dan Kara Lavender Law yang menyatakan sejak tahun 1950 sampai dengan tahun 2015, dunia telah menghasilkan 8,3 milyar ton plastik. Dari Jumlah produksi tersebut 30 % masih di pergunakan dan sisanya terbuang sebagai : 79 % terkumpul di TPA atau terbuang dialam, 12 % di incenerated dan 9 % di daur ulang (recycling).
Hasil kajian kemudian menambahkan bahwa limbah plastik yang mencemari lautan dari 192 negara di dunia sudah mencapai 4 – 12 juta ton setiap tahun. Pencemaran ini akan semakin massif dan terakumulasi dengan cepat, karena bertambahnya konsumsi plastik di setiap negera pertahun, karena diperkirakan plastik ini baru dapat terurai dengan baik menjadi humus/tanah sesudah 500 tahun atau lebih apabila ditempatkan atau dibuang di alam bebas.
Dari Resolusi PBB tanggal 6 Desember 2017 di Nairobi, Kenya yang dihadiri oleh 200 negara termasuk Indonesia, menyadari bahwa dengan kecepatan terbuangnya 8 juta ton plastic dalam bentuk : botol, kemasan dan sampah lainnya yang dibuang ke laut, jumlah plastik ini akan lebih banyak daripada jumlah ikan dilaut, dan plastik ini akan membunuh kehidupan dan merusak rantai makan di dilaut. Dengan demikian seluruh delegasi dalam Resolusi PBB di Nairobi tsersebut sepakat untuk menghentikan pencemaran sampah plastik di laut.
Gelombang informasi yang seperti tsunami mengenai ancaman sampah plastik yang merusak lingkungan hidup tersebut diatas sudah sampai ke Indonesia, karena Indonesia ditenggarai sebagai negera penghasil sampah laut terbesar kedua di dunia sesudah China (Jenna Jambeck, 2018) walapun kemudian hasil penelitian Jenna ini sudah dibantah oleh beberapa pihak.
Sejak tahun 2015 berbagai respon dari seluruh pihak yang terkait di negeri ini, mulai dari : Pemerintah, Pengusaha, NGO dan partai politik yang diungkapkan dalam berbagai himbauan, ajakan hingga peraturan-peraturan pemerintah pusat dan daerah sudah bersebaran diseluruh negeri, yang kesemuanya membuat kebingungan, persepsi yang keliru bahkan semakin jauh dari penanganan sampah plastik yang baik dan efektif.
Pengelolaan Sampah Plastik di Indonesia
Pengelolaan sampah (waste) plastik yang sedang diupayakan saat ini oleh Pemerintah dan seluruh institusi serta masyarakat yang terlibat dengan plastik agar penumpukan dan penyebaran sampah plastik yang mengakibatkan kerusakan habitat, kebocoran sampah ke laut, dan kerusakan lingkungan hidup dapat tertangani dengan baik.
Berbagai upaya yang diprakarsai oleh Pemerintah untuk menyelesaikan masalah sampah plastik ini, belum menemukan solusi yang tepat, karena berbagai kondisi dan keterbatasan kemampuan negara kita untuk mengurangi penumpukan dan penyebaran plastik secara baik dan efektif. Prakarasa dan upaya-upaya yang sudah mulai dilaksanakan oleh Pemerintah maupun inisyatif swasta untuk pengelolaan sampah plastik, antara lain adalah:
- Pengelolaan sampah menjadi energy (waste to energy) sudah dimulai oleh Pemerintah dengan:
- Membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Saat ini
- Fuel/RPF) untuk PLTU, dimana diperlukan 5 % campuran plastik untuk memperoleh nilai kalori 4.100 kcal/kg. PLN mengajak perusaahaan lokal untuk menjadi start up dan PLN sudah bersedia membeli RFP yang diproduksi oleh mitra lokalnya dengan harga tertentu. Inovasi pemakaian RPF ni Pemerintah sudah membangun 12 PLTSa di : Surabaya, Surakarta, Palembang, Jakarta, Bandung,Bekasi, Denpasar, Makassar, Manado dan Tangerang. PLTsa ini membutuhkan sampah yang kandungan plastiknya banyak, namun diperkirakan konversi menjadi energi akan terkendala karena sampah di negeri kita basah dan harga jual pewr kwh nya tinggi dan tidak mampu dibeli oleh PLN.
- Kerja sama dan inovasi bersama PLN untuk memakai chip (briket) sampah (Refused Plastic merupakan partisipasi PLN dengan memulai kerjasama dengan start up
- untuk menjadi bahan bakar (pyrolysis) masih dalam tahap uji coba. untuk menanggulangi sampah kota.
- Pemanfaatan plastic
- Circular Economy : Pemanfaatan sampah sampah plastik untuk meningkatkan nilai produk, penciptaan tenaga kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
- Aktivitas circular economy ini sudah berlangsung dengan baik, yaitu dengan bertumbuh kembangnya industri recycling plastik didalam negeri yang melibatkan pemulung limbah plastik pengepul dan industri hilir plastik dengan menyerap tenaga kerja sebanyak 3.000.000 orang, menghasilkan produk daur ulang plastik (DUP) yang bersaing dan memberikan kontribusi yang tinggi terhadap ekonomi.
- Pengunaan sampah plastik untuk konstruksi seperti : (paving block) dan aspal, namun penggunaan sampah plastik untuk konstruksi ini masih terkendala oleh aspek kelayakan teknis dan ekonomis serta keterbatasan pasar yang membutuhkan.
- Incenerator : Pembuangan sampah ke incinerator adalah salah satu upaya yang sangat efektif untuk mengurangi timbunan sampah plastic dan mencegah kebocoran plastik ke laut. Beberapa negara maju yang memiliki GDP tinggi dengan luas daerah yang terbatas seperti : Singapore, Belanda dll memilih incinerator untuk menyelesaikan penumpukan sampah di negerinya masing-masing. Penggunaan Incenerator secara massif di Indonesia, akan terkendala dengan biaya operasional yang tinggi.
- Pembuangan sampah ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA)
TPA merupakan tempat terakhir dalam proses akhir sampah plastik. Sebagian besar TPA di Indonesia yang saat ini berjumlah 400 buah masih merupakan system controlled land fill, walaupun sebagian masih merupakan TPA terbuka (open dumping). Namun sudah ada kota yang sudah membangun TPAnya menjadi sanitary landfill, yaitu Rawa Kucing di Tangerang dan Mangar di Balikpapan.
Pemilihan TPA sebagai tempat terakhir pembuangan sampah di Indonesia didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan ekonomis dan geograpis, karena:
- Daerah masih kesulitan untuk membuang sampah dengan skala besar melalui incinerator, karena biaya mahal. (bandingkan GDP/kapita Indonesia yang masih rendah, masih dibawah US $ 4.000, sedangkan USA = US $ 59.500,- Singapore =US $ 57.700, tahun 2017)
- Republik Indonesia yang luas dan terdiri dari 17.000 pulau.
- Sebagian besar TPA masih berfungsi sebagai kegiatan ekonomi bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Sebagian sampah-sampak plastik yang tidak layak daur ulang (LDU) yang terdiri dari Plastik Sekali Pakai (PSP) yang tipis, multi layer dsb akan berakhir di TPA.