“Undang-Undang Masyarakat Adat yang diperjuangkan diharapkan dapat menjadi payung hukum untuk memberikan jaminan pengakuan dan perlindungan bagi hak-hak perempuan adat secara utuh baik sebagai individu maupun kolektif yang menjadi kekhasan atau kekhususan yang melekat pada identitas perempuan adat,” ujarnya dalam forum diskusi Denpasar 12 bertajuk Menempatkan Masyarakat Adat dan Perempuan Adat dalam Konteks Kebangsaan yang dipantau di Jakarta, Rabu.
Terdapat beragam permasalahan yang kini masih dihadapi oleh perempuan adat, di antaranya menghadapi tindak kekerasan saat mempertahankan hak baik hak pribadi maupun hak-hak adat secara umum.
Padahal, perempuan adat berperan penting menjaga nilai-nilai budaya, merawat kearifan lokal dengan seperangkat karya intelektual.
Lestari menuturkan bahwa pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berawal dari bersatunya komunitas-komunitas adat yang ada wilayah nusantara kala itu.
“Kalau kembali lagi kepada proses pembentukan negeri ini, topik masyarakat adat juga menjadi salah satu topik yang menjadi perhatian dan dibicarakan dalam sidang BPUPKI,” terangnya.
Lebih lanjut Lestari menyampaikan perlindungan dan pengakuan terhadap masyarakat adat sebetulnya sudah ada dalam Undang-Undang Dasar 1945, baik sebelum amandemen maupun setelah amandemen.
Namun, pernyataan yang tertera dalam konstitusi dan sumber hukum tertinggi yang berlaku di Indonesia tersebut masih belum cukup.