Oposisi Indonesia Saatnya Bersatu

Oleh : M. Nigara Mantan Wasekjend PWI

Bukan hanya tokoh-tokoh elit partai yang mesti menyatu, tapi tokoh non partisan pun harus ada. Selain Persaudaraan Alumni 212 yang dipimpin ustadz Slamet Maarif, juga tokoh-tokoh lain harus diberi ruang untuk merapat. Mantan Mendagri, Syarwan Hamid serta tokoh lainnya pun harus dibawa masuk.

Sekber Diperlebar

Sekertariat bersama (Sekber) juga harus segera dibeblntuk. Bukan hanya Gerindra, PAN, dan PKS saja, tapi harus diajak masuk partai PBB yang meski belum punya tiket, tapi tetap memiliki potensi.

Hal ini menjadi sangat penting untuk mempersiapkan hasil pertemuan Makkah Almukarromah, 2 juni lalu. Dalam pertemuan Amien Rais, Prabowo, dan Habib Ruziek Sihab, diputuskan bahwa calon.presiden dan wakil presiden akan ditentukan oleh sekitar 5000 ulama non-MUI. Betul para ulama itu tidak memiliki tiket, tapi fatwanya kelak akan mengikat para pemilih muslim. Apalagi, konon silaturahmi ulama itu akan jufa mengundang tokoh-tokoh agama lain. Artinya keputusan pemuka agama itu akan mengetuk nurani mereka semua.

Dengan fatwa itu, maka setiap orang yang mengaku beragama islam serta agama lain akan terpanggil untuk mengikuti, sama seperti ketika ada gerakan 411 dan 212. Semua datang ke Monas karena terpanggil.

Sekali lagi, jika oposisi Indonesia ingin menang, jalannya hanya satu: Bersatu dan Menyatu. Apa yang diputuskan 5000 ulama se-Indonesia harus menjadi rujukan. Benar partai politik dibentuk untuk merebut kuasaan, tapi sekali ini, jalan yang membentang hanya satu yakni membenamkan ambisi sektoral.

Semua pihak harus bukan hanya menerima keputusan para ulama dan tokoh agama lain, tapi semuanya harus saling mendukung. Mudah diucapkan, tapi sulit dilaksanakan. Tapi tetap semua tak punya pilihan kecuali menjalankan.

HRS sendiri menegaskan agar empat partai bisa bersatu dan menyatu: Gerindra, PAN, PKS, dan PBB. Nah saatnya, keempat partai ini segera merapatkan barisan. Duduk bersama untuk menyamakan tujuan. Para petinggi partai harus mampu saling menerima. Jangan lagi ada pihak yang merasa lebih dari yang lain. Tanpa keikhlasan, maka harapan akan jadi impian.

Artinya, Jika ulama menyebut si A atau si B, untuk menjadi capres dan cawapres, partai segera merapatkan barisan. Tidak lagi menggerutu karena ternyata bukan kadernya.

Ingat, oposisi ingin menang bukan sekadar gagah- gagahan.

Akhirnya, jika Mahatir dan Anwar saja bisa saling memaafkan, mengapa kita tidak? Jika Malaysia saja mampu, mengapa kita di Indonesia tidak!

Leave A Reply

Your email address will not be published.