Optimalkan Lahan Pertanian, Pengamat Ini Dukung Program Food Estate
JAKARTA, Harnasnews – Presiden Prabowo Subianto berkomitmen untuk mewujudkan program Food Estate, hal itu sebagai upaya pemerintahan untuk mencapai swasembada pangan.
Termasuk sebagai salah satu elemen kunci dalam cita-citanya mewujudkan kedaulatan pangan bagi negeri ini dengan pengembangan pertanian skala besar di berbagai daerah.
Selain untuk kebutuhan pangan, tanaman yang dibudidayakan seperti tebu dan jagung juga dapat digunakan untuk menghasilkan bioetanol yang akan dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Namun demikian, penggunaan lahan pertanian dalam rangka mendukung program food estate dinilai belum dilakukan secara optimal. Terbukti, pemerintah cenderung mengedepankan membuka lahan baru dari hutan.
Sebelumnya, pemerintah hendak membuka lahan hingga 3 juta ha di Merauke. Bahkan, dalam visi misi Presiden Prabowo ditargetkan ada tambahan lahan minimal 4 juta ha hingga 2029 untuk padi, jagung, singkong, dan tebu.
Menanggapi hal itu, Pengamat ekonomi dan pertanian dari Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Khudori mengungkapkan, jika dilihat lahan untuk program food estate yang sudah dibuka di tahun-tahun sebelumnya belum dapat dioptimalkan.
Menurut dia, food estate bagi Indonesia bukan hal baru. Sejak era kolonial Belanda sudah ada upaya membangun lumbung pangan atau kawasan pangan berskala luas. Langkah serupa berlanjut di zaman Orde Baru, yang pada 1970-an membuka Palembang Rice Estate dilanjutkan pembukaan lahan gambut sejuta ha.
Seperti di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono food estate dibuka di Merauke dengan Merauke Integrated Food adan Energy Estate (MIFEE) di Bulungan dan di Ketapang. Lalu di era Presiden Joko Widodo kembali dilanjutkan dengan membuka di Humbang Hasundutan (Sumut), di Kalimantan Tengah, dan di Merauke.
“Jadi, sejarah food estate sudah panjang dan lama. Apakah berhasil? Tidak. Tingkat keberhasilannya kecil, kalau tidak dikatakan gagal. Nah, lahan-lahan eks food estate ini kan banyak dan luas. Juga tersebar di banyak wilayah,” kata Khudori dalam keterangan tertulisnya, Jumat (20/12/2024).
“Sementara, di bekas pembukaan lahan gambut sejuta ha itu pasti masih jutaan ha. Yang dibuka pada 1995-1996 itu luasnya 1,4 juta ha. Sebagian kecil sudah ditempati transmigran sampai saat ini. Tapi sisanya publik tidak tahu. Sempat dilanjutkan di era Presiden Jokowi dengan luas puluhan ribu ha, tapi gagal juga. Lalu di Merauke, itu juga jutaan ha,” tambah Khudori.
Khudari mengungkapkan, ketidakberhasilan program tersebut karena pemerintah belum melakukan kaidah-kaidah food estate secara benar.
“Yang perlu diingat, food estate terutama dari lahan hutan bukaan baru pasti memerlukan waktu. Jangan berharap food estate demikian akan bisa menghasilkan produksi berkelanjutan dan tinggi dalam waktu pendek,” ujarnya.
Seperti pada tahun pertama dimulainya program tersebut dipastikan akan diwarnai aneka tantangan dan kegagalan. Oleh karena itu perlu konsistensi dan perbaikan terus-menerus hingga beberapa kali musim tanam.
Dia menilai, untuk membuka lahan baru tergolong mudah, namun membuat kawasan baru menjadi lahan pertanian produktif berkelanjutan tanpa ada gangguan hama-penyakit, tanpa ada gangguan iklim, tanpa ada persoalan lingkungan, tanpa ada konflik dengan masyarakat dll adalah tidak mudah.
“Ini yang tidak banyak disadari selama ini. Selain itu, ketika membuka lahan baru seringkali kearifan lokal dalam bentuk pola tanam dengan tanaman lokal, pola makan dan lain-lain tidak dipertimbangkan sebagai bagian yang harus diintegrasikan dalam food estate. Akhirnya yang terjadi kemudian bukan hanya kegagalan, tapi juga menciptakan konflik dengan masyarakat,” jelasnya.
Untuk itu, lanjut Khudari, selain menambah lahan baru pertanian, lahan yang sudah ada harus dioptimalkan. Sebab sejauh ini, lahan pertanian yang sudah ada ini juga belum dioptimalkan penggunaannya.
“Pada minggu kedua November lalu saya ke Klaten, Jawa Tengah, mengunjungi mitra Bulog. Ternyata petani mitra Bulog ini 5 kali musim tanam dalam dua tahun terus gagal panen padi. Karena diserang wereng, sundep, dan tikus. Karena tak lagi punya modal, petani membiarkan sawahnya jadi bera hingga ditumbuhi ilalang dan rumput,” ungkap Khudori.
Padahal, kehadiran Bulog diharapkan dapat memberikan permodalan sehingga membuat para petani kembali bergairah.
“Nah, jumlah lahan yang diberakan seperti ini ada ribuan ha di Klaten. Dan saya yakin, ada ribuan ha juga di kabupaten dan kota lain. Ini perlu ditelisik,” katanya.
Khudori mengatakan, belum optimalnya lahan-lahan pertanian yang sudah ada juga bisa dilihat dari indeks pertanaman sawah yang hanya 1,4. Tidak bergerak sejak beberapa tahun terakhir. Artinya, sebagian besar sawah hanya ditanami 1,5 kali dalam setahun.
Sementara, ada yang hanya ditanami sekali dan ada yang dua kali atau tiga kali setahun. Jika pemerintah bisa menaikkan indeks pertanaman jadi 2 kali, produksi aneka komoditas pangan akan naik. Dan tekanan untuk menambah lahan baru semakin berkurang.
“Jadi, jangan sampai kita fokus pada perluasan lahan tapi lahan yang sudah ada tidak dioptimalkan. Percayalah mengoptimalkan lahan yang sudah ada hasilnya lebih cepat dengan tingkat keberhasilan yang lebih tinggi ketimbang mengandalkan lahan bukaan baru,” pungkasnya.
Perlu Perencanaan
Lebih lanjut, Khudori menuturkan, Food Estate harus dimulai dengan perencanaan yang benar dan komprehensif. Salah satu sumber kegagalan food estate adalah perencanaannya tidak benar.
“Misalnya, saat pembukaan lahan gambut sejuta hektare pada 1995 dan diteruskan kembali oleh Pak Jokowi, tim yang membangun fisik datang ke lokasi terlebih dahulu. Mereka membangun infrastruktur pendukung menggunakan asumsi-asumsi yang dibawa dari pusat,” ujarnya.
Kemudian, setelah bekerja demikian jauh, baru tim yang mengumpulkan data datang belakangan. Mereka ini yang akan mengumpulkan data sifat tanah, hidrologi, topografi, cuaca/iklim, data lingkungan, masyarakat, dan potensi konflik dengan masyarakat setempat ini mestinya datang di awal.
“Dari data yang mereka kumpulkan baru kemudian dianalisis kelayakannya, cocok untuk komoditas apa, kesesuaian iklim, dll. Dari hasil analisis dan kelayakan itu kemudian dibangun food estate. Baik di lokasi baru maupun di lokasi yang sudah ada. Food estate, terutama di lokasi bukaan baru, pasti memerlukan waktu dan beberapa kali musim. Di tahap awal amat mungkin gagal atau mengalami hambatan. Karena itu, perlu monitoring dan evaluasi terus menerus, perbaikan terus menerus,” tuturnya. (Aep)