
PA GMNI Perkuat Nasionalisme Melalui Kedaulatan Pangan Nasional
Mantan ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) tersebut menuturkan Indonesia masih mengimpor 70 persen kebutuhan kedelai nasional. Padahal, bahan baku tempe itu termasuk makanan pokok sehari-hari.
Lebih lanjut, ia menyampaikan 16 persen kebutuhan kacang tanah dari impor bahkan 90 persen bawang putih dalam negeri adalah impor.
“Sungguh kita telah menjadi negara importir pangan yang besar. Belum lagi sayur mayur dan buah buahan masih impor. Kita perlu introspeksi bahwa produk pertanian kita harus ditingkatkan kualitasnya. Rasanya tidak pantas kita menjadi pengimpor pangan, mengingat lokasi kita di daerah tropis dengan luas lahan hampir 2 juta kilometer persegi. Kita harus bertekad untuk membangun kemandirian pangan, memenuhi sendiri kebutuhan pangan kita,” ujar Siswono.
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa yang juga hadir pada webinar tersebut mendukung pernyataan Siswono. Menurut Dwi, impor pangan memang makin lama melonjak tinggi.
Impor komoditas berupa beras, jagung, gandum, kedelai, gula tebu, ubi kayu, bawang putih, dan kacang tanah melonjak dari 8 juta ton pada 2008 menjadi 20 juta ton pada 2018.
Sedangkan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan produk lokal harus menjadi unggulan. Pemenuhan gizi, kata Hasto, sepatutnya dapat dipenuhi dari produk lokal.
Mantan Bupati Kulon Progo itu membagikan pengalamannya mendorong masyarakat Kulon Progo untuk mengonsumsi produk lokal bergizi.
“Kita harus betul-betul mengedepankan produk lokal, makanya ada beberapa hal yang saya lakukan di Kulon Progo. Contoh beras, kita berjuang keras agar raskin menjadi rasda (beras daerah) diambil dari daerah. Saya merayu Bulog sampai tiga tahun baru setuju beras dari Kulon Progo,” kata Hasto.
Ia mengatakan koperasi juga harus dibentuk dan menguasai pasar tingkat lokal. Peraturan daerah maupun peraturan bupati perlu dibuat dalam rangka perlindungan produk lokal.
“Memaksakan produk lokal untuk pemenuhan kebutuhan keluarga, terutama mereka yang miskin dengan pemenuhan gizi seimbang itu bisa dilakukan,” ucap Hasto.(qq)