Oleh: Agus Wahid
Langsung menghilang. Itulah keberadaan Harun Masiku setelah ketahuan bermain dengan anasir komisioner KPU pasca dirinya ditetapkan berhasil menduduki kursi DPR RI dari PDIP hasil pemilu 2019.
Spekulasi terus berkembang, sudah lari ke luar negeri. Bahkan, sudah mati (terbunuh), meski tidak ditemukan jasadnya. Tapi, sekitar tahun 2020 terendus. Ketua KPK, Firly menanyakan tahu posisi keberadaannya.
Dia pun berjanji, akan tetap mengejarnya. Tapi, tak kunjung muncul di hadapan publik. Firly hanya omdo (omong doang). Dan baru-baru ini, Menkopolhukam, Machfud MD menyatakan, telah mengendus dan tahu posisi Harus Masiku (HM). Apakah omdo juga?
Yang menarik untuk kita catat lebih jauh, ke mana arah pernyataan Machfud itu? Yang jelas, posisi Machfud adalah bagian integral dari Pemerintah. Dalam perspektif hukum, tentu positif, masih ada upaya untuk mengejar problem penegakan hukum di Tanah Air, di antaranya kasus HM.
Namun, di balik sikap konstruktif itu, kita juga perlu mempertanyakan, apakah sikap atau pernyataan Machfud itu perintah Jokowi? Jawabnya, why not.
Jawaban ini mengundang tanya lebih lanjut, ada kepentingan apa masih mengejar HM, padahal durasi menghilangnya sudah berjalan tiga tahunan? Sekali lagi, jika motifnya penegakan hukum, harus kita catat sebagai sikap konstruktif.
Namun, jika komitmennya seperti itu, mengapa tidak sedar awal, yakni saat HM ketahuan pulang dari lawatannya dan posisinya di Bandara Soeta pada sekitar 2019 itu? Tiadanya tindakan konkret itu mengundang spekulasi dan akhirnya publik pun membaca topografi politik Jokowi versus Megawati.
Kita tahu, keduanya kini berseberangan dan saling memaksakan kehendak. Jokowi merasa punya kekuatan formal yang lebih powerful untuk menentukan calon presiden yang dikehendaki.
Sementara, Megawati menilai Jokowi hanyalah petugas partai. Kewenangan penentuan calon presiden ada di tangah Ketua Umum PDIP. Dan Megawati pun boleh jadi karena mempertimbangkan usia dan hanya sekarang kesempatan terakhir untuk mencalonkan putrinya (Puan Maharani). Karenanya, keinginan Megawati tak bisa diganggu-gugat oleh siapapun, termasuk sang petugas partai itu.
Jokowi dengan back up kekuatan faksinya dan inner circle nya, termasuk kalangan oligarki dan para penasehat politiknya tak mau menyerah. Maka, kasus HM dimainkan. Kita tahu, secara prosedural, KPU tak akan memuluskan keinginan HM tanpa surat “sakti” dari pimpinan DPP PDIP. Surat saktinya pun tidak sah jika hanya dari Sekjen.
Dengan demikian, Ketua Umum adalah pihak terkait yang menjadikan surat sakti dikabulkan KPU. Sementara, surat sakti itu menjadi cacat secara hukum, karena suara setelah ditarik dan akumulasi perolehan suaranya harusnya bukan HM. Tapi, mengapa HM yang mendapat dukungan DPP (Megawati), padahal perolehannya keenam dari suara terbanyak?
Meski Ketua Umum punya hak prerogatif, tapi fakta jumlah suara HM yang lebih kecil dibanding calon lainnya, tak bisa dijadikan pijakan penggunaan hak prerogatif. Realitas perolehan suara itulah sejati pijakan. Karena itu, sisi lemah ini dimainkan oleh Jokowi sebagai penekan.
Untuk memaksakan kehendaknya. Dan, berangkat dari kasus HM itu, Megawati terpojok karena posisi hukumnya memang lemah. Dalam hal ini Jokowi berhasil menyandera Megawati untuk tidak menggunakan hak prerogatifnya sebagai Ketua Umum dalam hal mencapreskan putrinya.
Maka, sketsa politiknya sangat mungkin berubah, PDIP akan mencapreskan selain Puan. Tapi, sosok capres yang memang sudah dielus-elus Jokowi. Kemungkinannya Ganjar Pranowo (GP).