Oleh: Agus Wahid
Luar biasa. Itulah kesan pertama menyaksikan keberanian Mahfud MD membongkar persoalan transaksi keuangan senilai Rp 347 triliun. Publik pun dibikin terpukau ketika Menko Polhukam itu beradu debat di Komisi III DPR RI. Pria kelahiran Madura ini balik menggertak ketika dirinya digertak anggota Komisi III itu: Arteria Dahlan (F-PDIP) dan Benny K. Harman (F-Partai Demokrat) terkait ancaman pidana akibat membuka transaksi keuangan yang harusnya tidak boleh keluar dari pejabat PPATK. Sebuah keberanian yang mengundang simpati sebagian publik, termasuk di antaranya puluhan profesor yang menyatakan dukungan positifnya.
Kini, kita perlu menganalisa beberapa stage untuk menilai dengan jernih dan sportif terhadap panorama Mahfud MD. Pertama dan utama, keberaniannya dalam perspektif penegakan hukum harus diacungi jempol. Karenanya, tidaklah berlebihan sejumlah profesor dari berbagai perguruan tingga mengapresiasi sikapnya.
Namun, di balik keberanian itu muncul pertanyaan berikut, mengapa baru kali ini dia bersuara lantang? Mengapa angka transaksi yang mencurigakan itu terhitung sejak 2009? Mengenai hal ini sebagai catatan kedua kita perlu melihat posisi Mahfud tak bisa terpisahkan dari istana. Tak bisa disangkal, saat ini sudah memasuki tahun politik kontstasi. Maka, apapun manuver dari anasir rezim sulit dipisahkan dari nuansa politik.
Apalagi, rezim ini terus menempelkan kepentingan politiknya pada perhelatan pemilihan presiden (pilpres) mendatang. Karena itu keberanian Machfud dapat kita baca bukan karena panggilan komitmen penegakan hukum, tapi lebih perupakan instruksi istana untuk bicara lantang atas persoalan potensi pidana pencucian uang itu.
Indikatornya sederhana. Meski posisi hukumnya baru merupakan dugaan, tapi informasi awal ini harusnya menjadi dasar aparat penegak hukum (Komisi Pemberantasan Korupsi atau Kepolisian dan Kejaksaan) bisa segera mengambil tindakan. Memang, Sebagian sudah dlakukan, antara lain, memproses Dirjen Pajak, Rafael Alun Trisambodo. Lalu, bagaimana dengan Menteri Keuangan, yang secara struktural jelas terkait langsung dengan direktorat itu? Mengapa Sri Mulyani (SM) tak tersentuh hukum?
Memang, SM mendapat sanksi moral di hadapan publik dalam ataupun luar negeri. Tapi, kualitas sanksi moral bersifat etis. Relatif. Bisa merasa terhukum. Bisa juga, acuh beibeg. Masa bodoh. Jika merasa malu, sudah sepantasnya dia mundur dari jabatannya. Kalau orang Jepang, ia akan melakukan hara-kiri. Ternyata, sampai detik ini, SM tetap lenggang kangkung. Ada kesan wajah menunduk. Tak ada senyum yang menghiasi wajahnya. Tapi, dirinya tetap melangkah.
Sekali lagi, SM memang sedang menjadi tontonan publik. Sangat dipermalukan. Bisa jadi sengaja dikorbankan. Lalu? Inilah yang perlu kita telaah lebih lanjut. Yaitu sebagai hal ke-tiga Mahfud diperankan sebagai sosok yang menjalankan fabrikasi informasi tentang pemerintahan yang committed to penegakan hukum. Bersih dari korupsi. Tak kenal diskriminasi, meski langkahnya melabrak koleganya sendiri sesama anggota kabinet.
Dalam kaitan ini di satu sisi publik pun bisa membaca, kerelaannya melabrak SM sebagai pesan politik menghajar sikap politik presiden pendahulunya: Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang pernah menganakemaskan SM. Itulah sebabnya, Mahfud pun membeberkan transaksi yang mencurigakan (bernilai Rp 347 triliun) terjadi sejak 2009. Berarti, sejak pemerintahan SBY periode kedua.
Pertanyaannya, apakah sebelum SBY nihil dari transaksi mencurigakan? Jika kita cermati gaya hidup hedonisme di kalangan keluarga aparatur pajak bahkan Kementerian Keuangan pada umumnya, maka dapat disimpulkan: sangat tidak mungkin tiadanya transaksi mencurigakan itu. Karenanya, Batasan waktu, total transaksi yang mencurigakan “sejak 2009” mengandung makna tendensius. Dan itu sarat dengan nuansa politik.
Seperti kita ketahui, SBY tak lepas dari jatidiri Partai Demokrat. Sementara, partai berlambang Mercy ini salah satu pengusung Anies Baswedan yang siap maju pada kontestasi pemilihan presiden (pilpres) pada Februari 2024 mendatang. Relasi politik ini mengabsahkan spekulasi bahwa manuver Mahfud yang membongkar transaksi mencurigakan per 2009 itu bisa kita catat sebagai bagian operasi intelegen untuk menghadang Anies. Tidak tertutup kemungkinan, atas nama penegakan hukum, SBY dibidik. Meski status hukum SBY bisa dilepaskan dari Partai Dermokrat, namun akan muncul public distrust terhadap Demokrat ini, sehingga hal ini akan mengganggu proses administrasi politik Anies sebagai kandidat.
Saat ini pun sejalan dengan bebasnya Anas Urbaningrum dari penjara sedang dogoreng sedemikian rupa. Arahnya, meredupkan pamor Partai Demorkat. Anas Urbaningrum hadir kembali ke gelanggang publik seolah menjadi korban politik SBY. Dan “nyanyian” Anas tentu menghiasi warna politik Demokrat. Inilah reduksi yang diharapkan rezim. Arahnya satu: Koalisi Perubahan rapuh, tidak prospektif. Dan hal ini bagian dari strategi melemahkan positioning politik Anies. Sementara fakta hukum lainnya tentang Anas Urbaningrum sebagai koruptor tampak ditutupi sedemikian rupa. Inilah permainan pat-gulipat dalam beranda politik menuju pilpres.
Kini, kita perlu menerawang kembali panorama Machfud. Melalui aksi bongkar-bongkar ala Mahfud muncul spekulasi: boleh jadi sebagai hal keempat istana sedang mempersiapkan Machfud sebagai kandidat alternatif pengganti Ganjar Pranowo. Keberadaan Mahfud di satu bisa ditawarkan ke Koalisi Besar Indonesia Raya (KBIR). Dengan keberadaan KBIR di bawah ketiak istana, maka titipannya (Mahfud) sebagai calon wakil presiden (cawapres) yang mendamping Prabowo akan menjadikan koalisi ini jauh lebih powerful. Tingkat resistensinya dari internal KBIR cukup kecil. Airlangga atau Muhaimin Iskandar sulit menolak titipan istana.
Jika skenario itu terjadi, maka kontestasi pilpres mendatang memang cukup berkualitas. Prabowo-Mahfud versus Anies-cawapres yang belum diumumkan secara eksplisit akan seru. Pertanyaannya, apakah istana menghendaki kualitas demokrasi atau hasil pilpres yang bermutu? No. Yang dipikirkan hanya satu: pasangan yang didorongnya menang. Dan itu jelas arahnya: meminta balas budi politiknya. Yaitu, jaminan keselamatan diri dan keluarganya. Bahkan, lebih dari itu: menitipkan kedua puteranya untuk merenda karir politiknya lebih jauh. Ada misi proyektif membangun dinasti baru.
Sisi lain, tidak tertutup kemungkian, Mahfud digiring untuk bersanding dengan Anies. Pertimbangannya, Anies dipasangkan dengan siapapun tetap berpotensi menang. Analisis ini menggerakkan istana agar Machfud digiring ke Koalisi Perubahan. Jika skenario ini terjadi, pasangan ini seng ada lawan. Di Atas kertas pasangan Anies-Machfud menang mutlak. Skenario ini pun tak lepas dari bacaan tertentu yang layak kita cermati. Yaitu, Mahfud akan menjadi bemper untuk menghadang upaya penegakan hukum terhadap segudang kasus malpraktik kebijakan yang dilakukan Jokowi dan kedua anaknya yang kini menjadi walikota.
Bahkan lebih ekstrim lagi: akan menjadi bemper juga terkait kepetingan para oligarki. Jika Mahfud menjadi cawapres Anies, maka megaproyek ibukota Nusantara dan megapoyek China lainnya relatif aman. Di sinilah, pasangan Anies-Mahfud justru akan mendapat support, tidak hanya financing, tapi juga dukungan politik, termasuk menghilangkan jeratan-jeratan hukum yang kini masih terus dicari pada diri Anies.
Apakah kubu Koalisi Perubahan akan merespons positif? Fifty-fifty. Jika landasannya kelancaran proses administrasi politik menuju calon resmi capres, maka terdapat kemungkinan responsi positif. Semakin positif responsinya jika menganalisa prospek kemenangan dalam pilpres.
Namun, jika menganalisa sisi lain, yaitu kalkulasi jalannya pemerintahan yang tidak kompak apalagi mencederai upaya membangun keadilan bagi semua, maka Anies akan menunjukkan sikap tegasnya: keberatan. Ketiga partai pengusung koalisi akan menghargai keputusan Anies yang memang tegas dalam menunjukkan komitmennya yang pro keadilan, dalam kaitan sosial-ekonomi. Juga, berkeadilan dalam hukum dan politik.
Anies dan PKS khususnya akan mereview rekam jejak Mahfud. Tak bisa dipungkiri, Mahfud itulah sosok pejabat tinggi negara yang harus bertanggung jawab pada kasus terjeblosnya Habib Rizieq Shihab (HRS). Jika kita buka jejak digitalnya, Mahfud seperti sesumbar. “HRS orang biasa. Beda dengan Imam Khumaini (Iran). Khumaini orang suci, karenanya kepulangannya dari pengasingan disambut jutaan orang. Sementara, HRS hanya disambut tak seberapa jumlahnya”. Faktanya beda. Yang menyambut kepulangan HRS jutaan.
Ada informasi, tak kurang dari angka lima jutaan. Yang perlu dicatat, omongan Mahfud direspon dengan hadirnya jutaan penyambut. Fakta kerumunan manusia karena sedang diberlakukan social distancing dijadikan delik hukum. Fakta bicara, realitas HRS yang disambut jutaan itu diproses secara hukum. Tidak hanya harus mengganti denda Rp 50 juta, tapi juga proses hukum. Fakta hukum ini tak bisa dipungkiri haruslah menjadi catatan. Apa yang menimpa pada diri HRS tak lepas dari omongan Mahfud yang memancing dan membiarkan pancingannya itu ditangkap. Hal ini kiranya tak akan lepas dari catatan Anies.
Terbitnya Kepres Nomor 17 Tahun 2022
Dan satu hal yang jauh lebih prinsipil. Di zaman Menko Polhukam Machfud inilah keluar Keppres Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim penyelesaian nonyudisial pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu. Terdapat hal yang cukup krusial tertuang dalam Pasal 3 Keppres tersebut, yaitu (a) melakukan pengungkapan dan upaya penyelesaian nonyudisial pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu berdasarkan data rekomendasi yang ditetapkan Komisi Nasional Hak Assasi Manusia sampai dengan tahun 2020, (b) merekomendasikan pemulihan bagi korban dan keluarganya, dan (c) merekomendasikan langkah untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia berat tidak terulang lagi di masa yang akan datang. Dilanjutkan dalam pasal empat bahwa rekomendasi pemulihan meliputi (a) rehabilitasi fisik, (b) bantuan sosial, (c) jaminan kesehatan, (d) bea-siswa, dan (d) rekomendasi lainnya untuk kepentingan korban atau keluarganya. Dan yang tak kalah mencengangkan adalah tambahan satu kalimat yang penuh kekhawatiran, “Pemerintah akan minta maaf kepada PKI dan PKI akan direhabilitasi hak-hak politiknya termasuk ikut pemilu dan dapat kompensasi pengganti sosial”.
Mungkinkah Machfud tidak tahu proses pembuatan Keppres itu? “Maha” tak mungkin. Atau, tak mungkinkan proses Keppres itu tanpa konsultasi dengan Machfud yang jelas-jelas ahli hukum, di samping sebagai pembantunya (Menko Polhukam)? Jawabnya, sangat mungkin berkonsultasi lebih dulu. Lalu, mengapa Keppres itu berhasil terbit? Inilah problem integritas seorang Machfud. Sangat tahu posisi historis siapa yang biadab dan siapa yang mayoritas menjadi korban, tapi membiarkan lolos Keppres itu. Sungguh sikap yang tidak manusiawi. Dalam hal ini publik jadi mengingat
Dan satu lagi yang perlu kita sampaikan catatan. Publik tak perlu silau, kaget dan heran terhadap gebrakan hukum ala Machfud. Jika kita buka jejak digitalnya, kita akan saksikan inkonsistensi dia, terkait politik hukum atau bahkan umat. Sebagai salah satu gambaran, pernyataannya di siaran ILC, “Pemerintah, kalau sudah tidak mendapat kepercayaan rakyat, ya mundur. Ga perlu nunggu proses politik hukumnya”. Kita bisa merenung, apakah saat ini gelombang seaksi publik saat ini tidak mencerminkan public distrust? Mengapa Machfud diam? Tak ada sedikitpun keluar dari mulutnya untuk menyatakan Presiden Jokowi sebaiknya mundur. There is no crucial statement which all people wait.
Menganalisa sikap politik Machfud dan inkonsistensinya, kiranya tidaklah berlebihan jika Anies tak berkenan bersanding dengan Menko Polhukam itu. Bukan alergi pada usulan istana, tapi totalitas rekam jejak Machfud yang kurang elok itu bisa menjadi faktor kontraproduktif bagi kinerja Anies ke depan. Jangan sampai daya juang Anies yang sungguh-sungguh siap menghadirkan kemerdekaan negeri ini akan terhadang oleh wapres yang tak seprinsip. Sementara, personalitas Anies dalam memimpin kenegaraan senantiasa mengendepankan kolaborasi. Dan wapres adalah mitra penting dalam membangun kepentingan negara dan bangsa.
Penulis: Analis dari Center for Public Policy Studies (CPPS) Indonesia