JAKARTA, Harnasnews – Ketua Umum Barisan Pemuda Nusantara (Bapera) Fahd A Rafiq berharap agar pemimpin Indonesia kedepan harus memahami tentang geopolitik, geoekonomi serta geostrategi. Hal tersebut dikatakan Fhad menanggapi meningkatnya situasi keamanan di Papua menyusul terjadinya aksi penyerangan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) terhadap markas TNI dan Polri.
Mantan Ketua Umum KNPI ini juga mengatakan, meningkatnya eskalasi penyerangan anggota KKB terhadap warga dan TNI/Polri tersebut diduga adanya campur tangan pihak luar (pemain global)
“Kita pernah mengingatkan mengenai Freeport dari kaca mata geopolitik. Karena jika dilihat keberadaan perusahaan tersebut bukan sekedar faktor ekonomi (cuan) saja, berbeda dengan melihat freeport sebagai alat tekan politik, bila dilihat dari kaca mata geostrategi dunia dari fungsi humanitarian (sisi kemanusiaan),” ujar Fahd dalam keterangan tertulisnya yang diterima redaksi, Senin (1/5/2023).
Menurutnya, keberadaan kelompok separatis di Papua tidak terlepas dari sebuah tindakan yang salah dari pemangku kebijakan yang hanya melihat satu perspektif tanpa mempertimbangkan beberapa sudut pandang. Sehingga terjadi pemberontakan dan penyerangan bersenjata seperti yang terjadi saat ini.
Padahal, kata Fahd, untuk menganalisa siapa di balik pemberontak KKB tersebut sangat sederhana. Di antaranya jika dilihat dari senjata Rifle (Laras panjang) yang dipergunakan pemberontak (separatis) adalah AR 15 buatan Armalite. Sedangkan ukuran peluru 5.56 mirip M16 buatan pabrik colt. Selain itu, AR 15 Armalite bukan dari jenis senjatanya namun manufakturnya dan penjualannya yang bermarkas di Phoenix Arizona.
“Senjata apapun jenisnya, baik itu pistol P1 Pindad ataupun Rifle (senjata laras panjang) tidak sembarangan bisa ditembakkan, jadi perlu latihan dan pembiasaan. Ada hentakan (After effect) yang disebabkan semakin besar kaliber peluru, semakin besar hentakannya,” terangnya.
Fakta selanjutnya adalah bahwa pasukan KKB sangat mahir dalam menggunakan senjata. Artinya mereka ada yang melatih, semua itu tidak murah dan juga tidak cepat, melainkan perlu latihan yang cukup lama sehingga menjadi pembiasaan.
Fahd pun mencontohkan terkait dengan penangkapan gerakan pemberontak di Filipina pada Januari 2023 lalu oleh pemerintah setempat. Ternyata dalam penangkapan tersebut ada di antara mereka merupakan anggota separatis Papua.
“Dimana seorang pilot anggota Gobay membeli 10 pucuk senjata AR15 di Filipina, dan fakta lain juga ada, kita ketahui senjata lain yang masuk dari perbatasan Papua New Guinea (jalur tikus yang bercabang) dari asalnya yaitu kepulauan Bougenville. Ada pangkalan militernya Amerika di Bougenville dan terbesar di Asia Tenggara ada Filipina. Apakah itu kebetulan?” terangnya.
Mantan Ketua AMPG ini juga menceritakan soal asal muasal kepemilikan saham Freeport yang dimiliki McMoran yang bermarkas di Arizona dan Phoenix adalah ibu kotanya. “Dulu zaman freeport aktif mengawal adalah senator Arizona John Mc Cain (War Heronya Amerika), dimana McMoran adalah salah satu perusahaan penyumbang pajak besar di Arizona yang harus dikawal khusus tentunya, baik secara Soft power (politik) maupun Hard power (militer),” terangnya.
Semantara, AR 15 di Phoenix, McMoran pemegang saham freeport juga di Phoenix ada kesamaan. Secara bisnis dengan Indonesia freeport ada kontrak yang mematuhinya selama 40 tahun dari 1967 ke 2017 yang bisa ditambah 20 tahun ke 2037.
Dimana secara pembukuan emas hasil olahan tembaganya freeport dihasilkan di Okinawa dan Rio Tinto Spanyol hal itu sudah dicatat di kementrian keuangan Amerika hingga 2037.
“Ketika ada gerakan mengambil alih tambang tembaga Freeport dan mengolahnya akan di Indonesia maka ada ketidakseimbangan dalam neraca cadangan emas Amerika pastinya yang ini sangat tidak disukai Amerika, ini secara tidak langsung menantang hegemoni negeri Paman Sam,” ungkapnya.
Fahd mengingatkan, bahwa analisa itu pernah diungkapkan sebelumnya. Dimana Indonesia akan menghadapi dua hal yaitu terorisme berbasis agama yang memang tombolnya di CIA dan kelompok separatis bersenjata yang juga tombolnya ada di Amerika.
“Pastinya Amerika tidak akan konyol terang terangan pakai tentaranya atau operasi intelijennya secara resmi. Perlu kita ketahui juga Wagner nya Putin yang bermarkas di Argentina dan beroperasi di Afrika dan saat ini memiliki 50.000 tentara di Ukraina, Rusia itu berperang di Ukraina tidak pakai tentara warga Rusia, terbanyak adalah tentara bayaran, melalui Wagner group,” ungkap Fahd.
Demikian juga Amerika, negeri paman Sam itu memiliki Blackwater (private army) juga triple canopy yang berbasis di Portugal. “Misalnya, bisa bisa saja mereka yang menjalankan misinya. Khusus untuk Papua kita harus mengerti anatomi musuh kita dan siapa yang memayunginya,” jelasnya.
Di permukaan dunia terlihat ramah, pejabat antar negara yang berperang saling sapa, saling jabat tangan, namun di bawah, shadow bayangan mereka saling hujam, saling tusuk. Artinya, tidak sesederhana itu dalam memahami dunia geostrategi kawasan dan hegemoni.
“Jadi apa yang harus kita lakukan, maka harus mengambil langkah diplomasi. Dalam hal ini bukan hanya ke Amerika saja tapi ke Australia dan New Zealand kalau perlu, karena kapten Philip pilot susi Air yang disandera adalah warga negara New Zealand yang saat ini belum juga dibebaskan oleh Tentara Indonesia,” tandasnya.
Ditambah lagi, KKB selama tahun 2023 ini lebih agresif dan telah memakan puluhan korban tentara dan polisi Indonesia. “Bayangkan, tentara terlatih (TNI) bisa diserang separatis. Apa kira kira mereka tidak ada yang melatih, membiayai dan strategi perangnya? Perangnya gerilya, hit and run, bersenjata berat, lantas siapa yang mengajarkan?” tanya Fahd.
Fahd jugs menyinggung soal penguasaan Freeport. Jika dari sisi ekonomi terlihat benar, namun menggunakan cara hostile (agresif) menekan secara kasar. Mengalihkan dari Okinawa dan Rio Tinto membuat panas hegemoni. Sehingga akibat kebijakan yang kurang tepat itu Indonesia saat ini harus menanggung resikonya.
Hegemony memang harus dilawan agar Indonesia bisa berdaulat sesungguhnya. Namun demikian kata Fahd ada cara-cara elegan yang lebih diplomatis. Seperti bagaimana untuk mendapatkan hak atas aset tersebut 100% sehingga Amerika tetap senang dan Papua pun tidak terlepas.
“Cara yang elegan saya kira belum dilakukan oleh pejabat kita. Sebab, jika melakukan langkah pragmatisme sederhana yang dibungkus narasi seperti yang terjadi saat ini, akhirnya berakibat tumpah darah yang berkepanjangan. TNI/Polri jadi repot, sementara rakyat Papua terus gelisah,” tegasnya.
“Saya mengingatkan kembali agar seluruh rakyat Indonesia jangan sampai anak cucu kita nanti menyanyikan lagu wajib hanya ‘Dari Medan sampai Ambon berjajar pulau pulau’ dikarenakan Sabang dan meraukenya lepas,” katanya.
Oleh karena itu, Ketua Bidang Ormas DPP Partai Golkar mengingatkan bahwa gerakan separatis itu baik yang berjuang secara Soft maupun Hard Power diprediksi akan melakukan gerakan secara masif menjelang pemilu. Karena pemerintah pusat tengah sibuk mengurus persoalan politik dalam negeri.
“Contohnya, lepasnya Sipadan dan Ligitan adalah masa masa akhir sebelum presiden SBY selesai dari jabatannya. Sementara, Malaysia mengambil kesempatan itu dan berhasil mencaplok dua pulau itu. Sekali lagi, hati-hati melihat Papua jangan lengah,” tutupnya. (Pri)