Oleh: Agus Wahid
Tersiar kabar dan terviral di berbagai media sosial. Ketua PBNU, Yahya Staquf mengumpulkan seluruh pengurus NU dari tingkat pusat, wilayah, daerah sampai ke tingkat ranting. Dalam sebuah pertemuan di Hotel Bumi Surabaya itu, Ketua Umum PBNU menyampaikan instruksi kepada seluruh pengurus secara nasional diduga untuk memilih pasangan capres-cawapres No. urut 2. Bahkan, mantan juru bicara Gusdur itu memohon, “untuk kali saja, kalian sami`naa wa atho`naa memenuhi permohonan kami”. Wow… sebuah pernyataan yang cukup menggegerkan hati para hadirin NU kala itu. Dan yang jauh lebih krusial, mengapa harus mendorong ke paslon 02? Ada konsesi apa yang dijanjikan kepada PBNU, sebagai organisasi atau personal (Rois `Aam)?
Ada beberapa hal yang perlu kita perlu catat secara serius. Pertama, PBNU di bawah kepemimpinan Yahya Staquf terjadi pergeseran sikap politik yang begitu nyata, tidak lagi menjalankan prinsip netralitas. Ketidaknetralannya sarat dengan sikap eksploitatif terhadap basis massa NU untuk kepentingan sempit dirinya dan inner circlenya. Banyak elemen dari Nahdliyyin bahkan lainnya menilai Ketua PBNU menggadaikan otoritasnya selaku ketua umum PBNU dan wadah organisasinya (NU). Sungguh merendahkan marwah NU sebagai organisasi. Dan mencemarkan nama baik jamaahnya sebagai setiap pribadi. Keluarga besar NU dipermalukan oleh sang Ketua Umum yang jelas-jelas menodai kultur NU.
Kedua, jika memang tidak netral, mengapa harus ke paslon 02? Prabowo dan Gibran tak sedikit pun tercatat sebagai bagian dari sejarah dan eksistensi organisasi NU, meski ada sejumlah sumbangan mengalir ke di antara keluarga besar NU. Perlu dibedakan antara sejarah dan eksistensi versus sumbangan yang bersifat etis. Mengapa tidak ke paslon 01? Dalam pasangan ini jelas ada Muhaimin selaku salah satu dzurriyah pendiri NU. Sementara, pasangan 03 ada Machfud MD yang juga dikenal sebagai intelektual NU meski tak masuk dalam jajaran struktural. Oleh karenanya, penggiringan Ketua Umum PBNU saat ini benar-benar tidak punya landasan sosiologis-historis dan budaya NU selama ini.
Ketiga, sejauh ini NU memiliki tradisi bahtsul masail (membahas persoalan kekinian yang berkembang di tengah masyarakat, termasuk persoalan politik). Namun, dalam kaitan “instruksi” Ketua Umum PBNU beberapa waktu lalu, sikap politik (mendukung dan mengarahkan) ke paslon 02 sama sekali tidak masuk dalam arena bahtsul masail yang bersifat darurat. Yang jauh lebih memprihatinkan, dalam menggiring dan menentukan sikap politik ke paslon 02, Ketua Umum PBNU tidak memberikan landasan fiqihnya yang argumentatif. Paradoksalitas inilah yang membuat benturan serius bagi seluruh jajaran pengurus dari pusat hingga ranting, terutama yang memahami dan berpegang teguh pada tradisi NU. Kira-kira berapa besar kekuatan kontrarian yang tetap istiqamah terhadap tradisi NU itu? Bisa besar. Bisa juga minim. Sangat tergantung dari kekuatan jeratan budaya pragmatisme para elitis NU di masing-masing jenjang. Secara umum, kalangan pengurus cenderung pragmatis. Maka, titah PBNU saat ini berpotensi besar untuk diikuti. Karena, titahnya akan diikuti politik kooptasi menggiurkan. Teori politik “carrot” ala Amerika jika diterima akan membuat posisi duniawinya moncer.
Namun demikian, tak bisa disangkal, ada sebagian pengurus NU yang masih tetap menjunjung tinggi idealisme budaya organisasi NU. Kalangan ini akan mengkritisi tajam praktik eksploitatif Ketua Umum itu, meski beresiko dicopot. Dirinya sadar, akan diberlakukan sanksi yang siap dipukulkan. Meminjam teori kebijakan politik luar negeri AS, “stick” (tongkat) akan segera dihantamkan kepada siapapun yang bertentangan dengan dirinya, apalagi jelas-jelas melawan.
Kalangan Nahdliyyin yang selama ini banyak berkhidmat pada dunia ta`lim dan dakwah, mereka tak akan risau dicopot dari jabatan strukturalnya. Belum lama ini Ketua DPW NU Jawa Timur, KH Marzuki Mustamal dicopot dari jabatannya, hanya karena beda pandangan dan sikap politiknya dengan Yahya Staquf. Apakah KH. Marzuki risau-galau? No. Beliau tetap lantang menyuarakan prinsip kebenaran dalam urusan politik praktis. Ini bukan urusan politisasi agama. Tapi, agama memang tegas-tegas mengajarkan prinsip kebenaran, termasuk untuk urusan politik.
Yang perlu kita catat, barisan kontrarian Yahya Staquf boleh jadi terbatas atau kecil jumlahnya. Tapi, reaksi kritisnya akan membahana secara meluas. Saat kritik tajamnya meluas, maka para fungsionaris NU nonstruktural demikian besar pengaruhnya. Suara pro kebenaran akan jauh diindahkan oleh basis massa Nahdliyyin di seantero Nusantara, bahkan kaum diaspora NU yang ada di berbagai belahan dunia. Karena itu, misi di balik instruksi Ketua PBNU kini sudah terlihat hasilnya secara dini: gagal total.
Lalu, mengapa Yahya Staquf ngotot seraya memohon “kali ini saja untuk sami`naa wa atha`naa”? Terjadi “bocor alus”. Ada kabar sayup-sayup tentang akan mendapatkan konsesi pengelolaan tambang, entah di mana, atau untuk jenis SDA apa, sehingga dapat konsesi? Begitulah. Begitulah kondisi NU di bawah kepemimpinan Yahya Staquf. Marwah NU ternoda secara serius. Setidaknya, mempermalukan NU di muka bumi ini.
Keempat, dengan mendasarkan fakta sikap politik Ketua PBNU, atas nama marwah NU yang harus dijaga, maka tidaklah berlebihan jika keluarga besar fungsionaris NU yang masih lurus nuraninya mengambil sikap dan jalan tegas. Mereka harus tergerak menggelar muktamar luar biasa. Inilah cara elegan dan konstitusional. Penuh dengan nilai prinsipil organisasi NU yang secara idealistik dan AD/ART tegak lurus dengan ajaran Islam, wabil khusus, ahli sunnah wal-jamaah (aswaja). Untuk itu, penggadaian marwah itu tak boleh dibiarkan. Selamat berjuang untuk memuliakan kembali marwrah NU.
Penulis: Analis Politik dan Kebijakan Publik CPPS Indonesia.