Pelaku Usaha Farmasi Dukung Pemerintah Permudah Perizinan Industri Farmasi Dalam Negeri
Untuk itu, kata Ery, ekosistem harus segera dibangun dalam rangka mempermudah regulasi di dalam registrasi alat kesehatan. Pihaknya juga mengapresiasi Kementerian Kesehatan yang merespon cepat terkait dengan persoalan tersebut.
“Ini sudah mendapat suport dari pemerintah. Namun harga juga harus konsider supaya para pelaku usaha farmasi bisa untung di ruang bisnis. Harga jangan terlalu ditekan, sebab jika harga terlalu ditekan akan menghambat perkembangan industri farmasi dalam negeri,” ucapnya.
Ari mengatakan, anggota Gakeslab rata-rata adalah pedagang. Saat pembelian alat kesehatan di Cina, India atau di Korea tentunya dicari discount yang paling besar. Kemudian dijual sesuai barang yang laku saja. Hal itu bagi dia sangat berbahaya bagi ketahanan kesehatan.
“Nah dengan adanya pandemi ini mereka (pengusaha farmasi) switching yang semula pedagang menjadi industrial. Ini terjadi karena pemerintah saat ini sangat support dalam memberikan kemudahan izin edar. Terlebih dengan adanya OSS, tentunya sangat mempercepat dalam proses perizinan itu sendiri,” terangnya.
Sebelumnya, sejumlah industri farmasi berharap agar pemerintah menyiapkan kebijakan pendukung untuk meningkatkan produksi dalam negeri. Sebab bahan baku industri farmasi domestik saat ini masih ditopang pasokan impor hingga 90%.
Selain itu, Indonesia masih menjadi importir bahan farmasi aktif (API) sebagai bahan baku. Oleh karenanya perlu adanya industri API di dalam negeri.
Berdasarkan catatan Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI), industri farmasi tumbuh positif sekitar 7,06% dalam empat tahun terakhir. Namun pada 2017, pertumbuhan industri farmasi sempat terkoreksi menjadi 3,48%. Pada kuartal I 2020, pertumbuhan industri farmasi dilaporkan minus 1,2%. Sepanjang 2019, industri farmasi berhasil mencatatkan penjualan sekitar Rp 80 triliun.
Pemerintah seharusnya dapat mencontoh negara lain dalam rangka penyediaan bahan baku untuk industri farmasi. Penurunan utilisasi produksi akibat anjloknya permintaan hingga 60% menjadi sorotan bagi pengusaha industri farmasi.
Akibatnya, kapasitas produksi menjadi tidak optimal. Padahal dalam kondisi normal, industri farmasi swasta dan BUMN memiliki kapasitas produksi hingga 50%. Adapun kemampuan untuk pemenuhan pasar domestik mencapai 90%. Dampak lainnya, industri telah merumahkan atau PHK karyawan sekitar 2.000-3.000 orang. (red)