MATARAM,Harnasnews – Organisme pengganggu tumbuhan (OPT) kerap menjadi permasalahan utama yang dihadapi dalam usaha budidaya tanaman, baik itu berupa hama ataupun penyakit. Permasalahan hama atau penyakit pada tanaman umumnya diatasi oleh petani dengan cara menyemprotkan pestisida sintetik atau kimia.
Penyemprotan pestisida sintetik biasanya dilakukan secara intens, terus-menerus, dan kadang tidak memperhatikan dosis atau anjuran penggunaan yang tertera pada label.
Jika pengggunaan pestisida sintetik dilakukan secara terus-menerus maka dapat menyebabkan OPT sasaran menjadi resisten atau kebal, dan organisme bukan sasaran ikut terdampak atau mati.
Selain itu, pestisida kimia dapat meninggalkan residu baik di tanah atau pada produk pertanian yang dihasilkan, sehingga menyebabkan lingkungan tercemar dan produk pertanian tidak aman untuk dikonsumsi. Batas maksimum residu (BMR) pestisida pada hasil pertanian telah ditetapkan dalam standar nasional Indonesia (SNI) yang mengacu pada SNI 7313:2008.
Guna mengurangi dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia, maka diperlukan alternatif lain untuk penanganan OPT. Salah satu alternatif tersebut adalah pemanfaatan musuh alami dalam pengendalian hama tanaman. Kehadiran musuh alami di alam dapat membantu menekan pertumbuhan atau menjaga keseimbangan populasi hama secara alami.
Selain itu, saat ini petani atau masyarakat bisa melakukan sendiri perbanyakan musuh alami dengan bantuan pendampingan dari petugas atau instansi terkait. Oleh karena itu, cara pengendalian ini bersifat ramah lingkungan dan biaya yang diperlukan lebih murah jika dibandingkan dengan penggunaan pestisida kimia.
Musuh alami adalah semua organisme yang ditemukan di alam yang dapat merusak, mengganggu kehidupan atau menyebabkan kematian OPT. Jenis musuh alami berdasarkan cara kerjanya dikenal ada tiga, yaitu predator, parasitoid, dan patogen serangga.
Predator merupakan organisme yang hidup bebas dengan memakan, membunuh, atau memangsa binatang lainnya, kemudian parasitoid adalah serangga yang hidup di atas atau di dalam tubuh serangga lain yang lebih besar yang merupakan inangnya, sedangkan patogen serangga merupakan mikroorganisme infeksius yang dapat membuat luka atau membunuh inangnya karena menyebabkan penyakit pada serangga.
Predator memiliki kemampuan untuk mencari dan menemukan populasi hama, dan akan menyerang secara langsung ketika menemukan mangsanya.
Predator dapat menyerang pada semua tingkat perkembangan mangsanya (stadia telur, larva, nimfa, pupa, dan imago atau serangga dewasa). Predator yang berkembang biak dengan baik pada lokasi dengan populasi hama tinggi dan memiliki daya makan tinggi, dapat mengurangi populasi hama dengan cepat.
Beberapa contoh predator yang dapat kita temui di lapangan yaitu laba-laba, capung, semut, kumbang koksi, dan burung predator serangga. Berdasarkan penelitian pada ekosistem sawah, kehadiran semut predator dapat menyebabkan mortalitas atau tingkat kematian terhadap larva penggerek batang padi dengan persentase sebesar 34.1%.
Parasitoid umumnya merupakan serangga kecil yang berasal dari enam ordo serangga, yaitu Hymenoptera, Diptera, Coleoptera, Lepidoptera, Neuroptera, dan Strepsiptera. Parasitoid hidup di dalam tubuh inang pada sebagian siklus hidupnya untuk tumbuh dan berkembang hingga stadia atau tahap hidup tertentu.
Kematian inang akan terjadi secara perlahan karena parasitoid memakan atau mengisap cairan tubuh inang. Jika inangnya sudah mati, maka parasitoid akan keluar dari serangga inang dan melanjutkan siklus hidupnya menuju stadia berikutnya.
Parasitoid dapat menyerang berbagai stadia inang, baik itu stadia telur, larva, atau imago. Spesies parasitoid yang berbeda dapat menyerang stadia inang yang berbeda, sebagai contoh yaitu serangga Trichogramma sp. memarasit inang pada stadia telur, Apanteles sp. pada stadia larva – pupa, dan Aphytis chrysomphali pada stadia imago.
Parasitoid yang sudah banyak dimanfaatkan di antaranya adalah parasitoid telur Trichogramma sp. untuk mengendalikan hama penggerek batang pada tanaman padi dan tebu. Pencarian telur inang oleh parasitoid Trichogramma sp. dilakukan dengan menggunakan indra penciuman.
Telur inang yang dicari akan mengeluarkan bau yang dapat memancing imago betina Trichogramma sp. untuk mendatangi inang tersebut. Ketika imago betina telah menemukan telur inang, maka imago betina tersebut akan memeriksa kondisi telur inang dengan cara menyentuhkan antena dan palpus pada telur inang, sehingga diketahui apakah telur tersebut merupakan telur yang segar, sehat, dan tidak terparasit oleh imago betina lainnya.
Jika telur inang yang ditemukan cocok, maka Trichogramma sp. akan memasukkan telurnya ke dalam telur inang.
Telur parasitoid selanjutnya akan berkembang menjadi larva dan mengambil nutrisi yang berada di dalam telur inang, yang pada akhirnya menyebabkan telur inang mati. Berdasarkan penelitian, pelepasan parasitoid Trichogramma sp. efektif dalam menekan intensitas serangan hama penggerek batang tebu Chilo sp. (Lepidoptera:Crambidae) dengan persentase parasitasi sebesar 93 – 98%.
Pemanfaatan musuh alami dari golongan patogen serangga juga mulai banyak dilakukan, baik itu berupa bakteri, cendawan atau jamur, virus, atau nematoda. Patogen serangga dapat mengeluarkan senyawa seperti metabolit sekunder, enzim, atau racun yang dapat mengganggu organel dan fungsi sel dan merusak jaringan tubuh.
Salah satu contoh patogen serangga yang banyak digunakan adalah Beauveria bassiana untuk mengendalikan serangga hama seperti ulat Spodoptera frugiperda pada tanaman jagung dan S. litura pada tanaman kedelai. Berdasarkan hasil penelitian, aplikasi B. bassiana dengan dosis 200 gram/liter air terbukti efektif dalam menekan intensitas serangan hama ulat S. frugiperda pada tanaman jagung dan menyebabkan mortalitas hama sebesar 93.75%.
Mekanisme serangan jamur patogen serangga B. bassiana diawali dengan melekatnya konidia jamur pada kutikula serangga inang. Konidia tersebut kemudian berkecambah dan memasuki tubuh inang secara mekanis dan kimiawi dengan mengeluarkan enzim dan toksin (racun).
Ketika sudah berhasil memasuki tubuh inang, jamur akan menyerang seluruh jaringan tubuh inang hingga menyebabkan kematian.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa musuh alami memiliki peranan penting dalam menekan populasi hama. Meskipun demikian, pengendalian hama dengan pemanfaatan musuh alami memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan penggunaan musuh alami dalam pengendalian hama yaitu ramah lingkungan dan biaya relatif murah, sedangkan kekurangannya antara lain adalah tidak dapat mengendalikan hama dengan cepat, diperlukan keterampilan khusus untuk proses perbanyakan dan aplikasi musuh alami, dan efektivitas pengendalian dipengaruhi oleh kondisi lingkungan atau agroekosistem setempat.
Agar musuh alami dapat berperan secara optimal dalam mengendalikan atau menekan populasi serangga hama, maka perlu dilakukan konservasi atau pelestarian musuh alami.
Hal ini dapat dilakukan dengan menghindari penggunaan pestisida kimia berspektrum luas atau penggunaan pestisida dilakukan secara bijaksana dan mengikuti anjuran 6 tepat (tepat sasaran, tepat mutu, tepat jenis pestisida, tepat waktu, tepat dosis/konsentrasi, dan tepat cara penggunaan), dan menanam tanaman refugia atau tanaman bunga sebagai sumber pakan dan tempat berlindung atau tempat tinggal serangga musuh alami.
Pemanfaatan musuh alami merupakan salah satu prinsip dari pengendalian hama terpadu (PHT). Dalam penerapan PHT, penggunaan pestisida kimia dijadikan sebagai pilihan terkahir. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam SNI 8969:2021 tentang cara budidaya tanaman pangan yang baik, khususnya terkait pelindungan dan pemeliharaan tanaman.
Dengan menerapkan cara budidaya tanaman pangan yang baik melalui pemanfaatan musuh alami, harapannya dapat mengurangi ketergantungan terhadap pestisida kimia untuk pengendalian hama, sehingga keseimbangan ekosistem pertanian bisa tercapai dan pertanian berkelanjutan dapat terwujud.(Herman)