
JAKARTA, Harnasnews – Indonesia Police Watch (IPW) mengapresiasi kinerja Kejaksaan Agung yang mengungkap Judicial Corruption mulai dari penanganan perkara Ronald Tannur di PN Surabaya hingga perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).
“Sebab, dengan dibongkarnya kasus-kasus yang melibatkan hakim sebagai pelaku yang nakal maka akan membuat kepercayaan publik terhadap hukum dan keadilan meningkat. Hal ini menjadikan lembaga kejaksaan berada di depan KPK dan Polri dalam penanganan korupsi,” ungkap ketua IPW Sugeng Teguh Santoso dalam keterangan tertulisnya yang diterima redaksi, Senin (14/4/2025).
Bahkan IPW menilai pola pengungkapan Kejagung dalam kasus korupsi peradilan cukup menarik karena Kejagung dengan sabar memantau komunikasi para pihak yang berperkara.
“Artinya diduga kasus ini terbongkar dengan langkah adanya deteksi jalur komunikasi. Salah satunya melalui penyadapan terhadsp jalur komunimasi pihak-pihak yang berpekara atau orang- orang sekitarnya seperti misalnya melalui komunikasi panitera atau pihak ketiga,” ujar Sugeng.
“Pastinya, pengungkapan judicial corruption penting dilakukan dalam pemberantasan korupsi, karena untuk menjaga agar peradilan tetap menjadi wilayah pencarian keadilan, bukan tempat bermain perkara suap,” imbuh dia.
Kendati begitu, IPW mempertanyakan mengapa dalam kasus Zarof Ricar justru kejagung menjadi loyo tidak mengungkap sumber dana dan posisi Zarof sebagai gate keeper.
Pasalnya, uang sebesar Rp 915 Miliar yang disita Kejagung itu adalah uang yang digunakan untuk mengamankan hakim-hakim lain yang akan bersidang. Hal ini merujuk pada dakwaan yang diajukan jaksa kepada Zarof yaitu terkait gratifikasi pada dakwaan kedua bukan suap menyuap.
“Dalam pola korupsi memang ada yang namanya gatekeeper. Itu adalah orang yang menjadi penyimpan dari uang-uang haram menjadi penyimpan. Pada kasus-kasus korupsi yang banyak ditemukan di Amerika Serikat, selalu ada satu sosok yang disebut sebagai gate keeper tersebut,” tegasnya.
Seperti diketahui, dalam perkara Ronald Tannur di PN Surabaya mengalir uang puluhan miliar. Hal itu terjadi diawali pada 24 Juli 2024, hakim memutus bebas terdakwa Gregorius Ronald Tannur dalam kasus tewasnya Dini Sera.
Majelis hakim yang mengadili Ronald Tannur ini diketuai oleh Erintuah Damanik dengan hakim anggota Mangapul dan Heru Hanindyo menyatakan Ronald Tannur tidak terbukti melakukan pembunuhan ataupun penganiayaan sebagaimana yang diuraikan jaksa dalam dakwaannya.
Kejanggalan putusan ini membuat kejaksaan menelisik benang merahnya selama tiga bulan. Melalui bukti yang cukup kuat, akhirnya pada 23 Oktober 2024, tiga hakim pemutus perkara Ronald Tannur ditangkap bersama seorang pengacaranya, Lisa. Dari penanganan terhadap hakim dalam dugaan vonis bebas tersebut kemudian berkembang menangkap Rudi Suparmono, mantan Ketua PN Surabaya.
Dari kasus di PN Surabaya itu, Kejagung mencium aroma yang sama dalam putusan penanganan perkara korporasi dalam kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya pada industri kelapa sawit pada Januari-April 2022 yang ditangani PN Jakarta Pusat dan diputus bebas pada 17 Maret 2025.
Akibatnya, Muhammad Arif Nuryanta yang saat ini menjabat ketua PN Jakarta Selatan ditangkap Kejagung pada Sabtu, 12 April 2025 bersama Wahyu Gunawan selaku Panitera Muda Perdata pada PN Jakarta Utara, dan dua advocat yakni Marceila Santoso dan Aryanto. Diduga ada aliran uang senilai Rp 60 Miliar yang mengalir ke Arif Nuryanta.
Tidak berhenti kepada empat orang itu saja menjadi tersangka dan ditahan, Kejagung hanya selang sehari menahan tiga orang hakim yakni Agam Syarif Baharudin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto sebagai tersangka pada Minggu, 13 April 2025. Ketiganya yang memvonis bebas tiga korporasi yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group dimana Djuyamto sebagai hakim ketua dengan anggota hakim Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom,
Oleh karena itu, dengan terbongkarnya kasus suap menyuap tersebut masyarakat berharap bahwa sistem peradilan bekerja secara adil, jujur, transparan dan bebas dari pengaruh politik dan uang.
Sementara itu, analis Center for Publik Policy Studies (Indonesia CPPSI) Yusuf Blegur mengapresiasi kinerja Kejaksaan Agung yang dinilai lebih efektif ketimbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bahkan dalam beberapa bulan belakangan ini berhasil mengungkap kasus korupsi kelas kakap. Dari pengungkapan kasus PT. Timah, kasus Pertamina hingga kasus suap Hakim PN Jakarta Selatan.
“Saat ini kinerja Kejagung lebih efektif ketimbang KPK. Justru kami menilai penegakkan hukum di KPK lebih cenderung bernuansa politis. Bahkan sejumlah pihak berpendapat bahwa lembaga antikorupsi itu saat ini keberadaannya sebatas hanya membalas dendam politik kepada rezim penguasa yang terdahulu. Jadi wajar jika ada yang usul jika KPK itu dibubarkan saja,” pungkasnya.