“Secara matematis pada Pemilu 2024 itu kan paling bisa menghadirkan untuk dua partai politik baru masuk parlemen,” kata Erik dalam diskusi daring yang diselenggarakan Parwa Institute dipantau di Jakarta, Selasa.
Hal tersebut berangkat dari volatilitas pemilu atau perpindahan suara pemilih dari satu partai ke partai lain dan dari pemilu ke pemilu yang terjadi penurunan cukup signifikan.
Erik menyebut dari Pemilu 1999 sampai Pemilu 2019 menunjukkan bahwa pemilih semakin stabil.
“Sekarang itu tingkat volatilitas partai-partai kita itu di angka 10 persen. Kalau Pemilu 2014 itu sekitar 26 koma sekian persen hampir 27 persen,” ujarnya.
Dengan asumsi 4 persen syarat keterpenuhan parliamentary threshold, Erik menilai jika mengacu angka 10 persen volatilitas pemilu tersebut hanya dua parpol baru pada Pemilu 2024 yang berhasil menduduki parlemen, dengan catatan suara pemilih terkonsentrasi atau tidak menyebar.
“Kalau pada Pemilu 2019 itu menyebar, suara partai politik yang tidak lolos parliamentary threshold itu 9,71 persen dan itu menyebar pada enam partai. Kalau itu terkonsentrasi pada dua partai maka partai politik baru bisa lolos, asumsinya begitu,” jelas Erik.
Selain volatilitas pemilu yang menurun, Erik menyebut rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap parpol juga menjadi tantangan tersendiri yang dihadapi parpol lama maupun baru.