Oleh :Yuliana Susanti
Saat ini petani tidak hanya dipacu untuk mampu meningkatkan produktivitas tanaman, tetapi juga dituntut agar menghasilkan produk-produk pertanian yang minim bahkan bebas residu bahan kimia sehingga lebih aman untuk dikonsumsi masyarakat. Masyarakat saat ini sudah sangat sadar akan pentingnya kesehatan, sehingga mereka bersedia untuk membeli produk khususnya pertanian walaupun dengan harga jual yang lebih tinggi.
Ada sebagian masyarakat sudah faham, bahwa yang mereka butuhkan adalah kualitas dari makanan tersebut bukan kuantitasnya. Makanan yang dikonsumsi jika hanya berdasarkan kuantitas saja, maka akan berdampak negatif terhadap kesehatan. Seperti yang dilansir cybex.pertanian.go.id, salah satu penyebab terbesar penyakit dan penuaan dini pada manusia adalah banyaknya bahan kimia yang ada di lingkungan kita, dan rekayasa genetika yang kerap dilakukan pada budidaya bahan pangan non-organik.
Sekitar 40 % kematian di dunia disebabkan oleh pencemaran lingkungan termasuk tanaman-tanaman yang dikonsumsi manusia, sementara dari 80 ribu jenis pestisida dan bahan kimia lain yang digunakan saat ini, hampir 10 % bersifat karsinogenik atau dapat menyebabkan kanker. Hal ini yang menyebabkan permintaan produk organik di bidang pertanian terus meningkat.
Berdasarkan hasil survey data Statistik Pertanian Organik Indonesia (SPOI 2019) mengemukakan, bahwa alasan dominan konsumen memilih produk organik karena bebas pestisida sintesis (82,61%), baik untuk kesehatan dan bergizi (79,45%) serta bebas GMO (79,45%).
Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang holistik yang mendukung dan mempercepat biodiversity, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah.
Penerapan pertanian organik merupakan langkah tepat yang harus dipilih petani agar bisa memenuhi permintaan konsumen dan meningkatkan nilai jual produk yang dihasilkan. Selain menghasilkan produk organik yang aman, melalui penerapan pertanian organik diharapkan dapat meningkatkan nilai jual yang lebih tinggi, seperti misalnya harga wortel berkisar Rp. 15.000,- – Rp. 17.600,- per kg tetapi untuk produk organik harga jualnya berkisar Rp. 28.000,- – Rp. 32.600,- per kg.
Selain itu, penerapan pertanian organik akan membantu menciptakan agroekosistem yang optimal dan berkelanjutan baik secara sosial, ekologi dan ekonomi serta etika. Hal ini ditunjukkan dengan semakin luasnya pengembangan pertanian organik di Indonesia. Pengembangan luas pertanian organik di Indonesia terus mengalami peningkatan sejak tahun 2009 dan peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2017 yakni 39,4% dari luas 126.014,39 Ha (2016) menjadi 208.042,06 Ha (2017). Sedangkan tahun 2018 peningkatannya sekitar 17,3% menjadi 251.630,98 Ha.
Penerapan pertanian organik di Indonesia harus mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian No. 64 Tahun 2013 dan SNI 6729:2016 yang dikeluarkan oleh Badan Standardisasi Nasional. Keduanya harus menjadi acuan bagi petani dalam mengembangkan pertanian organik ke depannya.
Konsumen terbesar produk-produk organik masih didominasi oleh konsumen yang tinggal di daerah perkotaan, sebagaimana dirilis Asosiasi Organik Indonesia dalam Statistik Pertanian Organik Indonesia (2019) ada tiga Provinsi terbesar pangsa pasar produk organik yakni DKI Jakarta 32%, Jawa Barat 21% dan Daerah Istimewa Yogyakarta 11%.
Sedangkan di Nusa Tenggara Barat (NTB) sendiri, permintaan produk organik sangat kecil dan permintaan ini hanya sebatas produk sayuran yang tercatat pada saat terjadinya wabah Pandemi Covid 19 dengan asumsi untuk membantu meningkatkan imunitas tubuh.
Rendahnya permintaan produk organik di Nusa Tenggara Barat (NTB) selain karena masih rendahnya tingkat pengetahuan juga karena daya beli masyarakat yang tergolong rendah, seperti yang disampaikan ibu Bq. Rohana salah satu pelaku usaha sayuran (Slada) yang telah mengantongi sertifikat Prima 3 dari Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menyatakan bahwa sayuran slada yang di distribusikan di pasar lokal dengan harga jual Rp. 8.000,-/200 gram sama sekali tidak dilirik oleh konsumen sehingga target penjualan dialihkan ke supermarket dengan target pangsa pasar yang lebih tinggi/menjanjikan.
Ada beberapa produk pertanian yang sangat diminati konsumen dalam bentuk organik. Top five produk organik dengan frekuensi tertinggi ditingkat konsumen secara berurutan, yaitu sayuran (23,00%), beras (21,00%), buah (18,00%), telur (7,00%) dan yang terakhir susu 6,00%). Akses konsumen untuk memperoleh produk organik menjadi hal yang sangat penting diketahui oleh petani selaku produsen/penjual.
Hampir 50% konsumen belanja produk organik melalui dua cara yaitu cara online dan langsung ke petani/produsen, sedangkan untuk konsumen yang tinggal di daerah perkotaan memperoleh produk organik melalui belanja di supermarket, toko khusus produk organik dan melalui komunitas yang sudah ada di beberapa tempat.
Fenomena kebutuhan produk organik yang terus meningkat dan akses distribusi/penjualan produk organik melalui online yang cukup tinggi, tentunya membuka peluang besar bagi para petani selaku produsen untuk menghasilkan dan mengembangkan produk-produk pertanian organik meskipun lokasinya tidak terpusat di daerah perkotaan.
Petani yang cerdas, akan segera memanfaatkan peluang ini untuk beralih mengembangkan pertanian organik yang tentunya lebih menjanjikan baik dari segi kualitas maupun harga produk yang dihasilkan nantinya.
Berdasarkan kondisi ini, diharapkan bagi petani kolonial yang akan menerapkan pertanian organik, harus faham akan digital karena penjualan lebih banyak melalui online. Oleh sebab itu, diharapkan pertanian organik akan banyak dikembangkan oleh petani milenial yang sangat faham akan dunia digital dan cepat faham akan penggunaan inovasi tepat guna dalam peningkatan produktivitas, kualitas dan mutu produk pertanian.
Penulis: Adalah Analis Standarisasi BSIP NTB