Perpadi Siap Dukung Pemerintah Bergerak Cepat Stabilkan Harga Beras di Pasaran
JAKARTA, Harnasnews – Dalam beberapa pekan belakangan ini hingga minggu kedua September 2023 harga beras terus mengalami kenaikan. Harga beras berkisar di Rp 13.221. Jumlah kabupaten kota yang mengalami kenaikan harga beras juga meningkat pada pekan kedua September, dibanding pekan pertama bulan yang sama.
Seperti pada tingkat pedagang eceran beras premium dihargai Rp 14.460/kg kemudian beras premium Rp 12.930. Sementara di tingkat grosir, beras premium di angka Rp 13.980 dan beras medium Rp 12.130.
Oleh karena itu, Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) meminta meminta pemerintah untuk intervensi, diantaranya mengevaluasi Harga Eceran Tertinggi (HET) beras, sehingga tidak merugikan industri penggilingan padi.
Ketua Umum Perpadi Sutarto Alimoeso mengatakan, kenaikan harga beras merupakan rangkaian dari persoalan manajemen tata kelola pertanian di Indonesia.
Menurutnya, penyebab melonjaknya harga beras selain konversi lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman, selain itu di beberapa sentra penghasil padi mengalami musim kemarau.
Penyebab lainnya, para petani saat ini tidak lagi semangat untuk menanam padi, dengan alasan karena biaya produksi tinggi.
“Kenaikan harga beras merupakan rangkaian dari persoalan yang sebelumnya. Padahal kami sudah sering mengingatkan kepada pemerintah bahwa saat ini luas panen semakin turun. Artinya konversi lahan itu tidak dapat perhatian,” ujar Sutarto kepada wartawan di Jakarta, (27/9/2023).
Seperti di Solo Raya, kata Sutarto, lahan pertanian kini semakin menyempit. Selain itu, di daerah Karawang juga saat ini banyak area persawahan yang menganggur. Bahkan di sentra produksi padi juga mengalami penurunan.
Sutarto mengungkapkan, permasalahan lain yang dihadapi para petani saat ini yaitu pupuk. Pasalnya, subsidi pupuk bagi petani dikurangi. Selain itu, kata dia, banyak beredar pupuk-pupuk yang tidak jelas.
“Akibatnya produksi gabah dengan penggilingan padi sudah tidak imbang. Dimana penggilingan padi itu jauh lebih besar dari pada kita memproduksi gabah,” jelas Sutarto.
Untuk itu, pihaknya mendesak pemerintah untuk gerak cepat mengatur harga Eceran Tertinggi (HET). “Gerak cepat itu harus dilakukan pemerintah. Saat ini kan era digital, bahkan masyarakat mudah dalam mencari data. Wilayah mana saja yang perlu mendapatkan perhatian dalam meningkatkan produktivitas padi dan penyaluran pupuk bersubsidi,” tendas Sutarto.
Dia pun menambahkan, agar harga pangan tetap wajar, pemerintah perlu meningkatkan efisiensi. “Karena selama ini baik di hulu, hilir, maupun di tengah-tengah, ini masih banyak hal yang bisa diefisienkan,” ujar Sutarto.
Dia sektor hulu dia mencontohkan, penerapan teknologi yang tepat bisa mengurangi pemakaian pupuk anorganik, lalu menggunakan pupuk organik untuk meningkatkan produktivitas.
Sutanto juga mengatakan mata rantai yang panjang harus dipotong. “Di sektor pangan ini, di lapangan ada pengepul, ada tengkulak, kemudian baru masuk industri. Kemudian dari industri masuk ke distributor, sub-distributor dan seterusnya. Ini seharusnya bisa kita potong,” ujar Sutarto.
Pada kesempatan itu, Sutarto juga menegaskan bahwa Perpadi siap bersinergi dengan pemerintah dalam rangka menjaga ketersediaan dan stabilitas harga beras di pasaran.
Sementara itu, Pengamat pangan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan harga gabah/beras tinggi di musim gadu (Juni-September) ketimbang di musim panen raya (Februari-Mei) sebetulnya merupakan siklus normal. Namun, ucap Khudori, saat ini harga memang sudah lumayan tinggi dari HPP.
Khudori menyampaikan HPP gabah kering panen (GKP) di petani sebesar Rp 5.000 per kg. Namun, harga di pasar sudah jauh meninggalkan HPP.
“Rata-rata sudah lebih dari Rp 6.000 per kg, bahkan ada yang sudah menyentuh Rp 7.000 per kg. Ini kenaikan yang luar biasa,” ujar Khudori.
Khudori menilai agak sulit untuk memastikan penyebabnya kenaikan harga beras. Pasalnya, banyak faktor yang berkontribusi terhadap kenaikan harga beras. Khudori mengatakan siklus panen memang musim gadu harga gabah/beras akan lebih tinggi dari musim panen raya. Kemudian, faktor lain adalah perkiraan produksi beras yang menurun.
“Perkiraan ini membuat keseimbangan pasokan dan permintaan tak seimbang, yang berujung pada ekspektasi harga yang naik,” ucap Khudori.
Khudori mengatakan produksi pada sembilan bulan pertama, merujuk data Kerangka Sampel Area BPS, diproyeksikan 25,64 juta ton GKG (gabah kering giling). Kendati data Juli-September 2023 masih proyeksi, yakni berdasarkan luas tanam, angka itu turun dibandingkan sembilan bulan pertama 2022 yang tercatat 26,17 juta ton GKG.
Di sisi lain, ucap Khudori, pada periode yang sama (Januari-September 2023) konsumsi beras nasional diproyeksikan meningkat, yakni mencapai 22,89 juta ton. Menurut data BPS, angka itu lebih tinggi dibandingkan konsumsi beras selama sembilan bulan pertama 2022 yang mencapai 22,62 juta ton.
“Jika dilihat lebih detail, neraca beras nasional (produksi dikurangi konsumsi bulanan) mulai defisit lagi sejak Juli, Agustus dan September 2023,” ucap Khudori.
Khudori mengatakan jumlah defisit beras selama tiga bulan itu diestimasi sebesar 420 ribu ton, setelah lima bulan berturut-turut neraca beras surplus 4,35 juta ton. Surplus pada musim rendeng/panen raya terjadi karena kinerja luas panen pada Maret dan April amat tinggi sehingga produksi gabah di Maret 8,89 juta ton dan April 6,24 juta ton GKG.
Khudori menyebut faktor lain ialah El Nino. Meski bukan hal baru, akan tetapi pemberitaan dan eksposure El Nino cukup luas, terutama dampaknya pada sektor pertanian. Sejumlah pihak memperkirakan produksi padi bakal turun 1,5 juta ton GKG. Bahkan, ada yang memperkirakan produksi beras turun hingga lima persen.
“Jika yang terakhir ini yang terjadi, lumayan besar,” sambung Khudori.
Faktor berikutnya, dinamika global yang tecermin dari kebijakan negara-negara eksportir beras yang cenderung restriktif. Salah satunya India. Khudori menyampaikan keputusan India pada menutup ekspor beras non-basmati pada Juli lalu berdampak pada kenaikan harga beras, terutama negara-negara yang selama ini tergantung pada beras impor dari India.
Khudori menyampaikan Indonesia impor dari India sebagian besar dalam bentuk beras patahan (broken rice), sebenarnya tidak bakal terdampak langsung oleh kebijakan India, meski terdapat sentimen negatif.
“Rangkaian berbagai faktor inilah yang sepertinya membuat harga gabah/beras terus naik,” lanjut Khudori.
Khudori juga menilai upaya diversifikasi pangan masih jauh dari kata berhasil. Menurut Khudori, langkah-langkah yang dilakukan pemerintah, baik pusat maupun daerah, masih parsial dan belum menyeluruh dalam mengakselerasi diversifikasi pangan.
“Perlu ada terobosan dalam bentuk inovasi dan teknologi baru yang bisa melipatgandakan produksi dengan input yang makin minim,” ucap Khudori.
Khudori mengatakan La Nina pada tiga tahun berturut-turut yang tidak diikuti kenaikan produksi beras menunjukkan kapasitas produksi yang menurun. Pemerintah, ucap dia, mau tidak mau harus ada melakukan langkah terukur untuk memperluas lahan pangan.
Khudori menyampaikan lahan pangan Indonesia terbilang kecil. Dia menilai penambahan lahan menjadi keharusan untuk memperbesar kapasitas produksi.
“Yang tidak kalah penting adalah pendampingan intens kepada petani. Saat ini petani enggak ada yang membimbing dan memandu. Lembaga riset dan perguruan tinggi dengan para penelitinya mestinya bisa terjun langsung dan menyatu dengan petani di lahan,” kata Khudori.
Berdasarkan catatan, bahwa produksi padi masih tergantung alam hingga membentuk pola produksi ajeg (tetap) saat musim penghujan (Oktober-Maret), tanam besar-besaran yang bakal dipanen Februari–Mei (panen raya). Sisanya, produksi di musim gadu dan kemarau.
Ketika terjadi pergeseran atau anomali iklim, seperti El Nino atau La Nina, pola produksi dan panen pun berubah.
• Panen raya (Feb-Mei) = 60 – 65%
• Gadu I (Juni-Sept) = 25 – 30%
• Gadu II (Okt-Jan) = 5 – 15%
• Panen raya= kualitas & harga rendah
• Gadu I = kualitas membaik, harganaik
• Gadu II = kualitas baik, harga tinggi
Irama Panen Kualitas & Harga Gabah/eras
Surplus produksi beras tidak terjadi setiap bulan. Dalam setahun, ada 5-6 bulan musim paceklik atau produksi tidak mencukupi kebutuhan konsumsi. Sementara kebutuhan konsumsi ajeg: sekitar 2,5-2,6 juta ton beras per bulan.
Surplus produksi juga hanya terjadi pada sekitar 9 provinsi. Ini menuntut perlunya ada cadangan beras dalam jumlah cukup, dan tersebar di seluruh wilayah. Termasuk untuk menjawab apabila diperlukan untuk mengintervensi kegagalan pasar (market failure).