Oleh: Muhammad Mufti Mubarok
Akhir-akhir ini ramai dibicarakan soal istilah petugas partai yang kerap disampaikan oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri. Seperti yang ditujukan kepada Joko Widodo dan Ganjar Pranowo. Di mana keduanya itu merupakan kader PDI-P dan sering disebut petugas partai.
Istilah ‘petugas’ pun juga dikemukakan Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nasir, yang menyebut petugas misi Muhammadiyah.
Sebenarnya istilah petugas itu menunjukkan atasan dan bawahan. Menunjukan bos dan anak buah. Menunjukkan majikan dan pembantu dan menujunjukkan kasta yang lebih tinggi dan rendah. Jadi rasanya istilah petugas tidak perlu kita besar besarkan dalam partai modern atau dalam ormas apapun.
Di banyak partai politik ada yang yang menarik. Misalnya di Partai NasDem ada sebutan kakak untuk yang lebih senior, di PAN menyebut sesama pengurus dengan istilah saudaraku. Sementara di HMI ada kanda dan adinda, di partai lain ada istilah sebutan sahabat.
Dulu kita menyebut proklamator kita dengan Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir dll. Sebutan Bung rasanya kita satu level, di Surabaya kata yang digunakan untuk menunjukan senior hanya dengan Cak. Seperti Cak Nun, Cak Lontong, Cak Kartolo dll. Di Jawa Barat ada istilah Kang. Contoh, Kang Emil, Kang Asep, dll.
Dalam tradisi Jawa lainnya ada istilah mas. Mas Budi, Mas Parto dll. Di pesantren ada istilah Gus. Gus Dur, Gus Imin, Gus Miftah. Gus Baha. Istilah Gus lebih akrab dan Egaliter.
Di luar Jawa kita menyebut Abang. Abang lebih akrab dan lebih moderat. Jadi istilah petugas tampaknya perlu dipertimbangan . Toh yang jadi petugas adalah pemimpin pemimpin pada masanya.
Hegemoni partai tampaknya perlu dipertanyakan. Partai politik kekuasaannya sangat besar cenderung otoriter yang bisa mengatur eksekutif, legislatif dan yudikatif semua harus restu partai politik. Jadi mengapa ada ormas Islam yang ikut ikutan latah seperti partai politik
Sejatinya pemimpin lahir dari kolektif kolegial. Semua setara pada bidang masing masing. Semua punya peran penting. Jika terpilih ketua umum bukan berarti segala galanya. Ketua umum lahir dari kolektif kolegial yang dipilih secara langsung. Berdasarkan amanat, jika sewaktu waktu anggota dan tidak berkenan sewaktu waktu juga bisa jatuh.
Namun karena kadang kalau pemimpin atau ketua umum yang sudah terpilih berkali kali apalagi dengan menyandarkan trah membuat abuse of power.
Sehingga mengapa semua jabatan harus ada pembatasan dan tugas yang jelas bukan cek kosong. Inilah yang menyebabkan republik ini tidak dewasa. Pada jaman Nabi Muhammad SAW aja kita mengenal sahabat bukan petugas. Rasanya kita perlu sadar.
Salam
Penulis: Direktur LeSuRe Political Consultant