Harnasnews.com – Mahasiswa Doktor Ilmu Komunikasi Politik Universitas Sahid Jakarta.
Merujuk pada realitas politik yang ada saat ini, pemilihan kepala daerah (pilkada) kabupaten Sumbawa Besar tahun 2020, sangat fantastic, berbeda dari pilkada sebelumnya.
Kali ini pilkada Samawa benar-benar menjadi ajang adu gagasan, ketangkasan, sterategi politik generasi new/generasi oll merebut hati, simpati dan dukungan pemilih. Menjamurnya bakal calon (balon) muda non partai politik sisi sensasional pilkada saat ini. Tiupan sirinai menandai awal terjadinya pertarungan antar dua generasi. Lampion pilkadapun diterbangkan saling menjajal kekuatan di angkasa.
Lampion mana yang lebih kuat memantulkan sinar pengharapan baru, daya pikat, dan asupan energi meyakinkan pemilih Samawa. Ditengah riuh dukungan balon pilkada, desingan peluru dukungan, suara sumbangpun berdatangan mengiringi pelepasan bola lampions bakal calon. Umumnya pemilih mempertanyakan tentang: keseriusan, kesiapan, pendatang baru.
Sejauh ini belum terlihat gejala terang kepastian kendaraan tempur (partai politik) yang akan mereka gunakan, juga intensitas gerakan elit politik sentral serta ketersediaan sumber pasokan logistic mendanai pertempuran di atas hamparan gurun pasir pilkada yang tandus dan gersang.
Terlalu dini untuk kita simpulkan serius tidaknya bakal calon pemimpin daerah bertarung pada tournamen akbar pilkada yang sarat gengsi, financial dan relasi. Realitas politik yang terjadi saat ini, memang luar biasa, menarik dikaji dari aspek perilaku politik masyarakat dan actor kunci (bakal calon). Meski dilevel actor kunci sedikit mengalami perubahan, namun perilaku politik pemilih diperkirakan tidak jaauh beda dari pilkada sebelumnya. Perilaku acuh takacuh, perilaku acak, dan perilaku khusus.
Perilaku acuh takacuh pemilih, umumnya kita jumpai pada masyarakat yang secara ekonomi, pemahaman politik, tergolong masih sangat rendah dan cenderung ikut-ikatan. Meski tidak jauh berbeda, perilaku acak sedikit lebih maju dari perilaku acuh takacuh. Bentuknya apa yang mereka rasakan itu yang mereka lakukan.
Terkait perilaku politik Dvid Easton (1962) Albert Somit (1967) mengaskan bahwa perilaku politik menyangkut keterampilan (regularaties) dan norma standar pedoman perilaku. Setidaknya tawaran dimensi pilkda pada penjelasan di atas dapat kita jadikan standar moral dipilkada mendatang.
Kelompok pertama, kedua, memandang pilkada bagian dari permainan liar dan binal. Narasi yang dibangun, siapapun jadi pemimpin tidak mempengaruhi hidup mereka. Dalam pengertian lain manfaat pilkada hanya untuk orang tertentu yang memiliki sumber daya politik, licik dan culas. Perilaku khusus, terkait perilaku tim sukses memberikan pasokan informasi dan respon pemilih kepada paslon, memenangkan kandidat yang mereka jagokan.
Sebagai perhelatan politik akbar ketiga setelah pilpres, pilgub, pilkada cukup menyita perhatian banyak pihak. Selain ajang pergantian pemimpin, pilkada dianggap sebagai instrumen penting mengukur kedaulatan politik rakyat. seberapa jauh pemahaman, pengetahuan, kesadaran dan partisipasi pemilih terhadap proses politik. Seberapa dalam pemilih mengenal figur, mengetahui visi membangun, kredebilitas, integritas, intlektualitas, leadersif bakal calon yang ada.
Sebagai wadah kontestasi politik, pilkada bukan sekedar irisan permainan siap kalah atau siap menang. Pilkada menjadi ajang kontestasi gagasan, kemampuan, keterampilan mempengaruhi, merangkul lawan sedikit bermartabat. Serta menjadi ruang kontestasi pemilih dan calon.
Ibarat bangunan pilkada hanyalah sebuah simbol, didalamnnya syarat akan dimensi. Dimensi proses, dimensi isi dan dimensi hasil.
Bagi kandidat dimensi proses, terkait pesiapan kandidat membangun kesadaran, kemampuan saksi mengawal proses penghitungan suara dengan baik dan benar. Serta menjamin dirinya dan tim pemenangan untuk tidak menggunakan politik uang.
Dimensi isi, berkenaan dengan penegasan kongkrit paslon akan pesan-pesan pembangunan yang merefresentasikan harapan, keinginan dan cita-cita pemilih dan masyarakat. Dimensi hasil pemenang pilkada sanggup melayani, menjalankan visi misi secara meyakinkan, sanggup membawa perubahan untuk samawa dalam segala aspek kehidupan, berbangsa dan bernegara.
Bagi pemilih, diharapkan lebih pro aktif dalam tiap tahapan penyelenggaraan pemilu, secara bersama sama mengawal kinerja pemimpin terpilih. Serta lebih berani menolak politik uang.
Terlampau mahal biaya yang kita keluarkan untuk sebuah perhelatan politik akbar setingkat pilkada. Sejalan dengan pandangan tersebut, pilkada tidak bisa dipandang sebatas nomenclatur adu gengsi politik parokial, politik zonasi yang sempit, serta yuforia pemilihan pemimpin rakyat yang tidak bertepi. Pilkada merupakan jembatan emas untuk mencapai kedaulat ekonomi, kedaulatan politik dan sosial budaya.
Singkat kata pilkada 2020 mendatang harus mampu menghadirkan pemimpin daerah yang visioner, serta sanggup mengkapitalisasikan potensi sumber daya yang ada untuk kegiatan pembangunan yang bersifat tanggible dan intanggible.
Meski kita belum memasuki tahun politik, bulan politik, riak politik pemilihan kepala daerah Sumbawa mulai terasa. Geliat politik di ruang media sosial (medsos) facebook, watshap, line cermin dari realitas politik yang terjadi ditengah masyarakat.
Saat ini ruang medsoss mulai dibanjiri postingan bakal calon, sebut saja Dewi Novi Ariany., S.Pd. M.pd. Ir. Talifuddin. Sudirman. SAP. Miptahul Arazak., S.KoM.M.KoM. Ir. H.Rasyidi. Syukri Rahmat.S. Ag dan sederet nama calon muda lainnya dan calon incumbent (Husni Jibril).
Di kamar sebelah partai politik diam-diam ikut memantau, mencermati gerak politik media. Acuh tapi butuh, butuh dengan cara acuh, butuh untuk mencukupi isi saku. Kristalisasi kuatnya budaya parokial elit diinternal partai politik.
Perpolitikan Pantar dan Budaya Politik Parokial.
Pantar tempat tongkrongan faforit, masyarakat di kabupaten Sumbawa. Sebelum bekerja, pulang kerja, masyarakat samawa gemar bercengkerama di atas pantar. Pantar menjadi sarana shearing pengalaman, pemahaman dan gagasan.
Pemahaman keagamaan, bagesa (berkelakar) pemahaman ekonomi dan seterusnya. Seiring bergesernya waktu, pantar menjadi panggung rutinitas, onani pikiran, gagasan, adu ketangkasan berpolitik. Pantar menjadi ruang sosialisasi, dan komunikasi politik lintas generasi. Dari sinilah tapak kilas dedikasi politik generasi muda terdidik era 70an didaur ulang.
Era 50an 60an dominasi tokoh politik sentral oll masih sangat kuat, dan tingkat patron masyarakatpun begitu kuat, akibat injeksi paham politik skeptis pada orang tua, keluarga terdekat, handetolan. Era 70an hingaa saat ini ijeksi politik parokial, masih terasa, cukup kuat mementahkan narasi idiologis generasi melineal. Tidak jarang generasi melineal kehilangan orientasi politik kerena adopsi pendidikan politik pantar yang salah.
Generasi new banyak yang terjungkal diam dan putus asa. Penaklukan yang masif sistemik, masih mejadi jaring laba yang terus bermetamorfose menambah hangatnya perdebatan diruang perpolitikan pantar.
Tiupan kencang angin reformasipun merubah atmosfir politik. dan narasi politik kebangsaan. Benang asa tentang perubahan yang mereka bentang mulai memberikan sinyal pengharapan baru.
Perlahan namun pasti benang kusut politik parokial yang skeptis, mulai terurai, mengikuti pergeseran politik nasional. Dalam waktu yang bersamaan longgarnya taring dan injeksi tokoh politik lama, disertai munculnya perasaan insaf terhadap agregat politik, isu politik yang semakin runyam.
Akhirnya lampu hijau pergantian erapun menyala terang. Naluri dan kiak politik generasi melinealpun menggeliat ditandai munculnya keberanian generasi melineal mengapai bentangan asa menjadi pemimpin Samawa. Era dimana ruang perpolitikan pantar menyatu dalam nafas membangun budaya politik baru untuk sebuah pengharapan baru yang nyata. Kesimpulan.
Pilkada Sumbawa 2020 dijadikan momentum sejarah, mengikis budaya politik parokial. Baik buruknya pemimpin Kabupaten Sumbawa sangat tergantung pada proses eraman demokrasi reduksi makna serta dimensi pilkada. Karena pilkada bukanlah kapal tumpangan bongkar muat kekuasaan.
Pilkada menjadi ajang evaluasi kedaulatan politik pemilih Samawa dalam cakupan makna yang lebih luas, meliputi: pemahaman, penegetahuan keinginan berubah, merubah. Serta keinginan mengapai pengharapan baru, perubahan yang nyata dalam segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.(Herman)