Pilkada Kota Bekasi Dibayangi Karma Politik
JAKARTA, Harnasnews – Tidak lama lagi masyarakat Kota Bekasi akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah yang digelar pada 27 November mendatang.
Namun seiring dengan itu, kontestasi politik di Kota Bekasi kerap dibayang-bayangi dengan karma politik. Entah ini sebuah kebetulan atau memang merupakan sudah menjadi catatan sejarah politik di Kota Bekasi.
Seperti diketahui sebelumnya, bahwa kepemimpinan daerah di Kota Bekasi, dari semenjak pilkada dipilih langsung, tak satupun kepala daerah di Kota Bekasi yang mengakhiri masa jabatannya dengan mulus atau sesuai dengan masa.periodisasinya.
“Seperti di era Wali Kota Ahmad Zurfaih, beliau harus berhenti di tengah jalan karena kondisi fisiknya yang tak memungkinkan untuk mengatur sebuah pemerintahan lantaran sakit yang dideritanya, sehingga ia harus berhenti sebelum masa jabatannya berakhir,” ujar Sekjen LPKAN Abdul Rasyid dalam keterangannya Rabu (23/10/2024).
Selajutnya, kata Rasyid, estafet kepemimpinan Kota Bekasi di bawah kendali Wakil Wali Kota Bekasi yakni Mochtar Muhamad (M2)
Kemudian pada Pilkada berikutnya, M2 mencalonkan diri menjadi Wali Kota berpasangan dengan Rahmat Effendi, dan berhasil memenangkan Pilkada tersebut.
“Maklum saja saat itu M2 merupakan incumbent dan Rahmat Effendi juga mantan Ketua DPRD Kota Bekasi, sehingga untuk meraih simpati masyarakat dengan mudah didapat,” kata Rasyid.
Namun M2 menduduki jabatan Wali Kota tersebut tidak sampai akhir jabatannya, lantaran kasus korupsi yang menyeretnya hingga hakim memvonis hukuman penjara selama 6 tahun. Kemudian, roda pemerintahan Kota Bekasi di bawah kendali Wakil Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi.
Selanjutnya, Rahmat Effendi yang merupakan incumbent kembali mencalonkan diri menjadi Wali Kota Bekasi berpasangan dengan Ahmad Syaikhu (sekarang presiden PKS) keduanya berhasil memenangi kontestasi Pilkada tersebut dan mengakhiri jabatannya dengan mulus.
“Namun pada periode berikutnya Ahmad Syaikhu memilih tidak maju untuk ikut kontestasi pilkada. Dan kami melihatnya apa yang dilakukannya sudah tepat. Rupanya (Ahmad Syaikhu) memiliki naluri yang cukup kuat bahwa tidak mau terjebak dalam pusaran korupsi,” katanya.
Justru, lanjut Rasyid, Rahmat Effendi lebih memilih birokrat untuk mendampingi dirinya pada Pilkada berikutnya yakni mantan kepala dinas Bina Marga, Tri Adhianto.
“Pada pilkada 2018 lalu akhirnya Rahmat Effendi alias Pepen dari incumbent yang berpasangan dengan Tri Adhianto berhasil memenangi pilkada tersebut. Namun di periode kedua ini Pepen tidak berakhir dengan mulus, ia harus berurusan dengan KPK atas kasus korupsi yang menjerat dirinya hingga mendapat vonis hukuman penjara selama 12 tahun,” ungkap Rasyid.
Selanjutnya, untuk mengisi kekosongan pemerintahan, kepemimpinan Kota Bekasi akhirnya dilanjutkan oleh Tri Adhianto.
“Namun, di era (Tri Adhianto) banyak kasus dugaan korupsi yang menguap hingga berujung laporan kepada KPK dan Kejaksaan Agung,” ujarnya.
Di Pilkada 2024 ini, Tri Adhianto yang juga incumbent itu kembali mencalonkan diri sebagai Wali Kota yang berpasangan dengan Harris Bobihoe.
Dalam kaitan itu, Rasyid memprediksi jika pun terpilih Tri Adhianto tidak akan berakhir dengan mulus. Sebab sejarah Kota Bekasi mencatat bahwa jika kepala daerah yang memiliki ambisi kekuasan hanya memperkaya dirinya maka karma politik akan diterimanya.
“Terlebih kasus dugaan korupsinya yang saat ini sudah masuk di KPK dipastikan akan memprosesnya tinggal waktunya saja. Nah yang jadi pertanyaan kami apakah karna politik ini kembali akan berlaku bagi kepala daerah berikutnya di Kota Bekasi,” tanya Rasyid.
Untuk itu, LPKAN menyarankan masyarakat Kota Bekasi agar jangan sampai jatuh di lubang yang sama dan memilih pemimpin yang tengah menghadapi masalah.
“Kasus korupsi yang menjerat wali kota Bekasi sebelumnya harus menjadi pelajaran berharga, sehingga kedepan kita harus memilih calon pemimpin yang tidak bermasalah dengan hukum atau yang memiliki resiko menghadapi masalah hukum,” tutup Rasyid.
Konsep Karma Politik
Seperti diketahui, karma politik kerap dialami bagi siapa saja yang melakukan kompleksitas dunia politik, terdapat prinsip yang sering kali terbukti benar: apa yang ditabur oleh para pemimpin politik, itulah yang akan dituai.
Prinsip karma politik ini menggambarkan hubungan erat antara tindakan yang diambil oleh para pemimpin dan hasil yang akhirnya mereka dapatkan.
Karma politik mengandung makna bahwa tindakan dan keputusan yang diambil oleh para pemimpin politik akan menghasilkan akibat yang berdampak pada masa depan. Seperti hukum sebab-akibat, prinsip ini mencerminkan bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi, baik dalam jangka pendek maupun panjang. (Aep)