“Dari 405 kasus tersebut, ada 1.364 orang yang menjadi korban TPPO,” kata Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Berdasarkan data Dittipidum Bareskrim Polri mencatat tahun 2020 ada 126 kasus yang diungkap dengan jumlah korban terdiri atas perempuan dewasa, laki-laki dewasa dan anak perempuan, yakni 105 orang perempuan, 93 orang laki-laki dan 35 orang anak.
Kemudian tahun 2021 tercatat ada 122 kasus dengan jumlah korban 165 perempuan, 59 laki-laki dan 74 anak. Pada tahun 2022 terjadi lonjakan kasus, yakni ada 133 kasus dengan jumlah korban cukup banyak, ada 336 perempuan, 306 laki-laki dan 21 anak.
Menurut Djuhandhani, terjadi peningkatan signifikan jumlah kasus TPPO selama rentang periode tersebut, dan salah satu pencetusnya adalah setelah masa pandemi COVID-19 diberlakukannya pencabutan larangan pembatasan perjalanan ke luar negeri.
“Sejak setelah pandemi COVID-19 kasus TPPO naik signifikan dengan jumlah korban yang cukup banyak,” ujar jenderal bintang satu tersebut.
Menurut dia, pada 2020 dan 2021 modus kasus kejahatan TPPO paling tinggi adalah dijadikan pekerja seks komersial (PSK), menyusul pekerja migran dan kasus asisten rumah tangga (ART).
“Pada 2022 kasus paling tinggi adalah dengan modus pekerja migran yang kami tangani, jumlah korban juga paling banyak,” katanya.
Ia juga menyampaikan dari kasus-kasus TPPO tersebut, tren yang meningkat adalah korban dengan modus dipekerjakan untuk scam online, judi bahkan penipuan di Kamboja dan Myanmar.
Para sindikat kejahatan internasional ini mendirikan perusahaan di kedua negara tersebut dan merekrut korban warga negara Indonesia.