Potensial Turun Mutu Dan Rusak, Beras Bulog Harus Segera Disalurkan

Oleh: Khudori – Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Pemerintah menargetkan BULOG bisa menyerap beras produksi petani domestik tahun 2025 ini sebesar 3 juta ton. Per 20 April 2025, serapan mencapai 1,27 juta ton setara beras. Dari jumlah ini sekitar 80% berbentuk gabah, sisanya berupa beras. Kondisi ini berkebalikan dari puluhan tahun sebelumnya: 80% penyerapan berbentuk beras, 20% sisanya berupa gabah. Penyerapan mayoritas berbentuk gabah itu hanya bisa terjadi apabila BULOG memiliki “kaki dan tangan” yang langsung berhubungan dengan petani.

Saat ini yang berfungsi sebagai “kaki dan tangan” BULOG untuk langsung berhubungan dengan petani adalah Babinsa (Bintara Pembina Desa) atau Babinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat). Aparat yang bertugas di desa/kelurahan itu menjadi penghubung petani dan BULOG. Melalui mereka penyerapan gabah relatif lancar. Justru BULOG yang kewalahan. Di sejumlah daerah penyerapan dikurangi, bahkan sempat dihentikan, karena kapasitas mesin pengering (dryer) yang amat terbatas.

Situasi ini pun memakan “korban”. Sampai saat ini setidaknya ada lima pimpinan wilayah BULOG yang dicopot. Beberapa kepala cabang BULOG bernasib sama. Mereka dinilai lambat bergerak menyerap gabah petani. Ada juga tuduhan “Petani menunggu di sawah tapi pegawai BULOG menanti di gudang”. Korban lain adalah petani. Karena penyerapan dikurangi atau dihentikan, harga gabah di sejumlah daerah dilaporkan turun dari ketentuan: Rp6.500/kg gabah kering panen di petani apapun kualitasnya.

Terlepas dari kondisi itu, per 1 April 2025 di gudang BULOG di berbagai daerah ada 2,34 juta ton beras. Jumlah ini akan terus bertambah seiring membesarnya penyerapan. Sebanyak 1,792 juta ton dari 2,34 juta ton adalah sisa stok beras akhir 2024, yang sebagian besar berasal dari impor. Sekitar 436 ribu ton (18,6%) dari 2,34 juta ton beras telah berusia 7-12 bulan, bahkan ada hampir 55 ribu ton (2,3%) berusia lebih setahun. Mayoritas, yakni sekitar 1,079 juta ton (46,1%), beras berusia 4-6 bulan.

Idealnya beras hanya disimpan 4 bulan. Lebih dari 4 bulan beras harus dikeluarkan dari gudang untuk disalurkan. Agar beras tidak berpotensi turun mutu, bahkan rusak. Beras yang disimpan di gudang memerlukan perawatan. Kian lama penyimpanan kian besar biaya perawatan. Ini akan membebani BULOG sebagai korporasi. Selain itu, kalau ada beras rusak di gudang, BULOG pasti dihujat. Temuan beras berkutu di gudang BULOG di Yogyakarta, Maret 2025 lalu, saja sudah membuat gaduh, apalagi bila ada beras rusak.

Mengapa BULOG hanya menyimpan beras di gudang? Menurut aturan, penggunaan cadangan beras pemerintah (CBP) yang dikelola BULOG harus atas perintah yang punya barang. Akhir 2024, Presiden Prabowo Subianto menyetujui penyaluran bantuan pangan beras pada 2025 diberikan 6 bulan. Bantuan menyasar 16 juta keluarga miskin, yang masing-masing diberi 10 kg/keluarga/bulan. Total bantuan mencapai 960 ribu ton. Rencananya bantuan disalurkan Januari-Februari 2025 saat paceklik. Bulan lain belum ditentukan.

Belum sempat disalurkan, pemerintah memutuskan penyaluran bantuan pangan beras ditunda. Alasannya produksi beras melimpah. Dalam tiga bulan pertama tahun 2025 produksi padi naik lebih 50% dibandingkan periode sama di tahun lalu. Membandingkan produksi awal tahun ini yang kondisi iklim/cuaca normal dengan awal tahun lalu yang dilanda El Nino tentu tidak tepat. Karena kondisi keduanya amat berbeda.

Merujuk BMKG, El Nino berlangsung Juni 2023 hingga April 2024. Ini yang membuat produksi beras tertekan, termasuk di 3 bulan awal 2024. Produksi 3 bulan awal 2024 hanya 5,6 juta ton beras. Juga akibat El Nino, puncak produksi beras 2024 bergeser dari Maret ke April. Oleh karena itu, produksi 3 bulan 2025 lebih tepat dibandingkan produksi 3 bulan awal 2023 atau 2022. Produksi beras 3 bulan awal 2023 mencapai 9,32 juta ton, lebih besar dari produksi 3 bulan awal 2025 yang sebesar 9,04 juta ton.

Lagi pula mengklaim produksi beras di Januari-Februari 2025 melimpah –karena naik tinggi ketimbang Januari-Februari 2024-tidak tepat. Apabila paceklik dimaknai produksi dikurangi konsumsi di bulan yang sama terjadi defisit, Januari-Februari 2025 sebenarnya termasuk paceklik. Produksi beras melimpah baru terjadi di Maret. Merujuk BPS, produksi beras Januari sebesar 1,24 juta ton, Februari 2,23 juta ton, dan Maret 5,57 juta ton. Sementara konsumsi beras mencapai 2,6 juta ton per bulan.

Sebetulnya BULOG masih memiliki outlet agar beras tidak menumpuk di gudang, yakni operasi pasar bernama Stabilitas Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Sialnya, SPHP juga distop penyalurannya. Alasannya sama: produksi beras melimpah. Sempat disalurkan sebanyak 65.159 ton pada Januari 2025, lalu dilanjutkan di Februari. Lazimnya saat paceklik, pasar biasanya “lapar” beras. “Lapar” beras itu tampak dari penyaluran pada 1-6 Februari 2025 yang mencapai 37.722 ton beras alias 6.287 ton beras/hari.

Setelah bantuan pangan beras dihentikan dan kemudian diikuti penyetopan penyaluran SPHP, pasar sepenuhnya dipasok beras oleh swasta. Bagi swasta, ini peluang pasar yang baik. Tapi bagi warga miskin calon penerima bantuan atau warga rentan yang berharap bisa membeli beras SPHP dengan harga terjangkau, mereka gigit jari. Mau tidak mau mereka harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli beras. Padahal, penghentian penyaluran keduanya dengan alasan produksi beras melimpah tidak tepat.

Tahun 2025 ini SPHP ditargetkan tersalur 1,2 juta ton beras, setara 2 tahun terakhir yang rerata mencapai 1,29 juta ton. Bersama bantuan pangan beras, SPHP jadi outlet penting beras BULOG di tahun 2023 dan 2024. Bantuan pangan beras diinisiasi Badan Pangan Nasional pada 2023. Saat itu bantuan menyasar 21,35 juta keluarga selama 7 bulan. Mereka menerima 10 kg beras per keluarga per bulan. Hasilnya baik, maka dilanjutkan dengan penyaluran 9 bulan di 2024. Di 2 tahun itu bantuan pangan menyedot beras BULOG masing-masing 1,49 juta ton di 2023 dan 1,97 juta ton di 2024.

Dengan bantuan beras 10 kg per bulan, keluarga penerima terlindungi dari gejolak harga beras di pasar. Cakupan sasaran yang relatif besar, 21,35 juta keluarga, bantuan beras memengaruhi keseimbangan harga beras di pasar dari sisi permintaan (demand side) dan sisi penawaran (supply side). Dari sisi penawaran ditandai dengan berkurangnya permintaan keluarga penerima bantuan terhadap beras di pasar.

Hal ini membuat tekanan permintaan beras di pasar berkurang, sehingga gejolak atau kenaikan harga beras lebih terkendali. Bahkan, harga beras di pasar bisa turun dan lebih murah. Inflasi juga relatif terkendali. Dengan volume bantuan yang besar, 213,5 ribu ton atau 8,5% dari konsumsi bulanan, menunjukkan kontribusi ketersediaan program ini relatif tinggi terhadap ketersediaan beras nasional.

Bantuan juga berperan pada sisi penawaran beras. Dengan volume yang besar, bantuan beras memengaruhi keseimbangan harga beras di pasar dari sisi penawaran. Pendek kata, bantuan beras memberikan efek positif terhadap stabilisasi harga beras di pasar dari dua sisi sekaligus: dari sisi permintaan dengan berkurangnya tekanan permintaan di pasar, dan dari sisi penawaran dengan tersedianya pasokan beras sesuai volume bantuan. Jadi, saat ada penyaluran bantuan stabilisasi beras tampak baik.

Penghentian penyaluran bantuan beras dan SPHP memberi pelajaran penting: outlet pasti beras BULOG masih belum ada. Outlet SPHP dan bantuan beras dibuat sebagai pengganti outlet Raskin yang hilang. Saat Raskin masih ada BULOG menyalurkan antara 3-3,2 juta ton beras/bulan. Ketika Raskin diubah jadi bantuan pangan nontunai (BPNT), outlet itu hilang. Sejak itu sampai saat ini tidak ada outlet pasti beras BULOG. Padahal, beras barang yang tak tahan lama. Potensi rusak jika lama disimpan.

Jika kemudian beras kelolaan BULOG yang besar itu diklaim sebagai terbesar sepanjang sejarah dan linier dengan produksi padi melimpah, pertanyaannya: apa gunanya buat rakyat jika beras hanya ditumpuk di gudang? Bukankah rakyat miskin tetap harus pergi ke pasar dan membeli beras? Bukankah saat ini harga beras cenderung naik di saat puncak panen raya? Bukankah sudah berbulan-bulan harga beras, medium dan premium, nangkring di atas harga eceran tertinggi (HET)? Bukankah ini anomali dan absurd?

Presiden Prabowo sudah mengeluarkan Inpres No. 6/2025 tentang Pengadaan dan Pengelolaan Gabah/Beras Dalam Negeri Serta Penyaluran CBP, 27 Maret 2025. Di inpres itu outlet beras BULOG terbentang luas, mulai untuk SPHP, bantuan pangan (termasuk bantuan pangan luar negeri), tanggap darurat bencana, penyaluran untuk TNI/ASN/Polri dan program Makan Bergizi Gratis, dan CBP pemda. Bahkan bisa untuk bantuan sosial.

Regulasi ini perlu ditindaklanjuti lebih konkrit dalam bentuk aturan turunan oleh kementerian/lembaga. Ini niscaya agar integrasi kebijakan perberasan di hulu, tengah, dan hilir terjadi. Beras yang diserap BULOG dari produksi petani domestik dikelola dan didistribusikan ke seluruh wilayah, kemudian disalurkan sesuai outlet pasti. Dengan integrasi ini, beras bisa dialirkan terus menerus dari gudang dengan prinsip “yang masuk duluan keluar duluan”. Beras terus segar dan dan tidak rusak.

Leave A Reply

Your email address will not be published.