Reorientasi Industri Surimi Melalui Diversifikasi Usaha Perikanan
JAKARTA,Harnasnews.Com – Guna mendorong geliat usaha dan menjaga keberlanjutan bisnis sektor perikanan Indonesia, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) tengah mengupayakan diversifikasi bisnis perikanan. Hal ini sebagai solusi atas melemahnya industri surimi akibat menipisnya bahan baku yang tersedia.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Sjarief Widjaja beserta jajarannya, Selasa (16/01), melakukan pertemuan dengan pengusaha dari 14 perusahaan surimi guna membicarakan reorientasi pengembangan industri perikanan tangkap. Turut hadir dalam kesempatan tersebut Ketua Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Budi Wibowo.
Sjarief menjelaskan, karakter perikanan Indonesia sangatlah unik. Laut Indonesia seluas 5,8 juta km persegi terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian Papua yang secara geografis melekat pada Benua Australia; bagian barat Indonesia hingga Kalimantan yang secara geografis melekat dengan benua Asia; dan bagian Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang masuk pada samudera lepas.
Ketiga bagian tersebut juga memiliki spesies ikan yang berbeda-beda. Di bagian barat misalnya, ditemukan jenis ikan kerapu, kakap merah, lobster, udang, dan sedikit ikan kembung, ikan layang, dan tongkol. Sedangkan di perairan bagian Papua terdapat spesies seperti cumi, kakap merah, ikan gulama, udang, dan beberapa spesies lainnya. Adapun di bagian samudera lepas hidup migratory fish, seperti tuna, tongkol, dan cakalang.
Meskipun laut Indonesia kaya akan berbagai spesies ikan, menurut Sjarief jumlah masing-masing spesies tidaklah banyak, sehingga industri yang hanya mengandalkan satu spesies ikan saja tidak akan bisa bertahan lama. Terlebih jika industri tersebut bersifat massif. Begitu pula dengan industri surimi yang berbasis pada ikan kurisi saja atau ikan kuniran atau ikan mata goyang atau ikan-ikan tertentu lainnya. Kecepatan produksi pada industri ini jauh lebih cepat dibandingkan kecepatan regenerasi ikan yang digunakan sebagai bahan baku, sehingga dalam waktu dekat industri akan kesulitan menemukan bahan baku.
“Negara kita berbeda dengan Argentina, Chili, Alaska, atau Kanada, di mana mereka memiliki jenis ikan misalnya Anchovy atau Alaska Pollock yang jumlahnya jutaan ton atau massif. Tapi negara kita tidak seperti itu, kita memiliki banyak jenis ikan tetapi volumenya sedikit. Oleh karena itu, kami mengusulkan kepada pelaku usaha Surimi agar membuat industri perikanan yang berbasis pada spesies lokal,” papar Sjarief.