
Oleh: Khudori
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menemukan perusahaan produsen MinyaKita mengurangi isi kemasan. Kemasan 1 liter yang mestinya berisi 1000 mililiter ternyata hanya berisi 750 hingga 800 mililiter. Itu diketahui setelah Amran dan jajaran membeli MinyaKita dan menakar isi dengan gelas takar ukuran 1 liter. Inspeksi ke Pasar Lenteng Agung, Sabtu, 8 Maret 2025, itu juga diikuti Satgas Pangan.
Ada juga kemasan yang isinya sesuai. Menurut Amran, pengurangan isi amat merugikan masyarakat. Karena itu, kata Amran, jika terbukti bersalah produsen MinyaKita ini akan dipidanakan dan pabrik akan ditutup. Minyak diproduksi oleh tiga badan usaha, yakni PT AEGA, koperasi KTN, dan PT TI. “Kami minta untuk diproses dan jika terbukti bersalah, kami minta agar pabrik ini ditutup dan produk mereka disegel,” kata Amran.
Mengapa ada perusahaan menyunat isi MinyaKita? Mengapa pula mereka menjual di atas HET? HET MinyaKita saat ini Rp15.700/liter, mulai berlaku pada 14 Agustus 2024. HET ini naik dari HET sebelumnya sebesar Rp14.000/liter. MinyaKita di level konsumen berada di atas HET sebenarnya bukan hal baru. Harga nangkring di atas HET setidaknya sudah terjadi sejak pertengahan 2023. Jadi, harga di atas HET sudah cukup lama.
Lalu, mengapa ada perusahaan menyunat isi MinyaKita? Dugaan saya, karena biaya pokok produksi sudah jauh melampaui HET. Harga bahan baku minyak goreng sawit, yakni CPO, dalam negeri selama 6 bulan terakhir sekitar Rp15.000-16.000 per kg. Dengan angka konversi CPO ke minyak goreng 68,28% dan 1 liter setara 0,8 kg diketahui untuk memproduksi MinyaKita seharga Rp15.700/liter harga CPO maksimal Rp13.400/kg.
Ini baru menghitung bahan baku CPO. Belum memperhitungkan biaya mengolah, biaya distribusi, dan margin keuntungan usaha. Kalau ketiga komponen itu diperhitungkan, sudah barang tentu harga CPO harus lebih rendah lagi. Artinya, dengan tingkat harga CPO saat ini dan keharusan produsen MinyaKita menjual ke Distributor 1 (D1) maksimal sebesar Rp13.500/liter adalah tidak mungkin tanpa kerugian. Pengusaha mana yang kuat jika terus merugi? Usaha mana yang sustain bila harus jual di bawah harga produksi.
Jika tidak ada koreksi kebijakan, ada dua yang berkemungkinan terjadi. Pertama, produsen menjual MinyaKita sesuai HET tapi mengorbankan kualitas. Menyunat isi kemasan bisa dimasukkan dalam konteks “mengorbankan kualitas”. Kedua, produsen tetap memproduksi MinyaKita sesuai kualitas (termasuk tidak menyunat isi) tetapi menjual dengan harga di atas HET. Bahwa keduanya berisiko dan melanggar aturan, ya. Tapi kalau aturan yang ada tidak memungkinkan usaha eksis dan sustain tanpa melanggar aturan, yang patut disalahkan pengusaha atau pembuat regulasi? Atau keduanya?
Dari sejarahnya, MinyaKita semula bernama Minyak Goreng Rakyat. Ini diatur di Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 49/2022 tentang Tata Kelola Program Minyak Goreng Rakyat. Salah satu tujuannya adalah memastikan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melalui skema wajib pasok pasar domestik (domestic market obligation/DMO). Pemenuhan DMO merupakan syarat eksportir CPO mendapatkan izin ekspor dari pemerintah dengan rasio tertentu sesuai dinamika pasar.
Program ini dihelat setelah gonjang-ganjing minyak goreng akhir 2021 hingga awal 2022. Saat itu harga minyak goreng melambung tinggi. Konsumen menjerit, UMKM merana. Pelbagai intervensi pemerintah dilakukan, terutama dengan meracik aneka aturan. Menurut catatan, sepanjang Januari-Juli 2022 tak kurang ada 21 regulasi dibuat. Masalah bukannya selesai, minyak goreng malah sempat langka. Sebagai produsen CPO terbesar dunia ini ironi. Pemerintah dihujat, dinilai kalah dari korporasi.
Tak ingin kehilangan legitimasi, program Minyak Goreng Rakyat digulirkan dengan skema DMO. Tapi pemerintah sepertinya tidak belajar dari gonjang-ganjing minyak goreng pada 2021 dan 2022. Saat itu, pelbagai regulasi dibuat, ada skema DMO, wajib harga domestik (domestic price obligation/DPO) CPO, juga HET minyak goreng. Tapi semua tidak mujarab. Kalau sudah tahu skema DMO tidak manjur kok masih diulang?
Salah satu kelemahan skema DMO adalah beleid ini tidak mengakomodasi fluktuasi harga CPO sebagai bahan baku minyak goreng. Ketika harga CPO naik otomatis harga MinyaKita juga naik. Sebaliknya, ketika harga CPO turun, harga MinyaKita di konsumen tidak otomatis turun. Jika pun terjadi penurunan, biasanya amat lambat. Selain itu, beleid ini juga potensial menghambat ekspor dan menurunkan penerimaan negara.
Merujuk data realisasi DMO CPO dari Kementerian Perdagangan, realisasinya selalu melebihi kebutuhan, yakni 250 kiloliter per bulan. Ditambah saat ini DMO hanya untuk produksi MinyaKita, minyak goreng curah tidak lagi menggunakan DMO CPO, mestinya MinyaKita melimpah. Masalahnya, tatkala harga minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan premium naik seiring kenaikan harga CPO, amat mungkin terjadi migrasi konsumen. Seiring penurunan daya beli, mereka yang semula mengonsumsi minyak curah dan minyak goreng kemasan bisa beralih ke MinyaKita. Jika ini benar, migrasi konsumen ini juga bisa berkontribusi kepada kenaikan harga MinyaKita.
Ihwal harga di atas HET, mengacu temuan Kementerian Perdagangan dan Satgas Pangan adalah karena produsen menahan distribusi. Juga karena distribusi yang panjang hingga ada D3 dan D4. Versi pemerintah, distribusi MinyaKita dari produsen ke distributor I (D1) dijual seharga Rp13.500/liter. D1 ke D2 seharga Rp14.000/liter, D2 ke pengecer Rp14.500/liter, dan pengecer ke konsumen Rp15.700/liter. Jadi, tidak ada D3 dan D4. Agar distribusi tidak panjang, sebaiknya libatkan BUMN (BULOG dan ID Food) dalam distribusi. Dengan demikian, kontrol pemerintah lebih mudah.
Uraian di atas menunjukkan perlu segera ada koreksi kebijakan MinyaKita. Kebijakan saat ini amat tidak menguntungkan produsen. Pengelola kebun sawit, produsen MinyaKita, pedagang, dan konsumen adalah satu mata rantai tak terputus. Kalau ada salah satu yang harus keluar karena ekosistem tidak memungkinkan usaha berlanjut, mata rantai produksi bakal terganggu. Itulah yang berkemungkinan terjadi saat ini.
Ke depan, pemerintah perlu membuat kebijakan yang tidak mendistorsi harga. Kalau hendak mensubsidi MinyaKita untuk kelompok miskin/rentan dan UMKM, sebaiknya dilakukan dengan transfer tunai. Uang hanya bisa digunakan untuk membeli MinyaKita. Tidak bisa dicairkan atau digunakan membeli yang lain. Cara ini tidak mendistorsi harga, selain juga lebih tepat sasaran. Atau kebijakan lain yang ramah pasar.
Penulis: Pengamat ekonomi dan pertanian dari Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI).