
“Dalam BAP saudara, Andreu mengatakan ‘Harus ada uang partisipasi Ton, kemudian saya jawab, berapa bang nilai partisipasi-nya? Kata Andreu yang dulu-dulu bisa mencapai Rp5-10 miliar yang ini cukup Rp3,5 miliar saja’. Benar ‘Pak?” tanya jaksa penuntut umum (JPU) KPK kepada Anton.
“Iya, lalu saya sampaikan kesanggupan Pak Kanto berpartisipasi Rp2,5 miliar,” ujar Anton.
Anton juga mengatakan Andreau sempat menyebut nama politikus PDIP Aria Bima berkaitan dengan PT ABN untuk memperlancar urusan PT ABN.
“Jadi untuk meyakinkan Pak Menteri kalau PT Anugerah Bina Niha ini dibawahi oleh bapak Aria Bima, setahu saya dia politikus PDIP. Pak Andreau bilang ‘Ton, ini nanti saya sampaikan ke Pak Menteri bahwa PT yang kamu bawa ini di bawah koordinasi Pak Aria Bima,” tutur Anton.
Padahal kenyataannya, PT Anugrah Bina Niha jelas milik Sukanto Ali Winoto. Atas kesaksian Anton tersebut, Andreau pun membantah-nya.
“Saya tidak pernah memanggil Anton, saya tidak pernah meminta uang dan menyebut istilah uang partisipasi, terkait pemberian Rp1 miliar dan Rp1,5 miliar ke ajudan, saya tidak pernah menerima uang dari Yonas,” kata Andreau yang juga menjadi terdakwa dalam perkara tersebut.
Sedangkan terkait pemberian uang dua kali sebesar Rp750 juta ke Iwan Febrian, Andreau juga membantah-nya.
“Saya tidak menerima uang ini dan saya tidak pernah perintahkan Iwan Febrian untuk terima uang dari Pak Anton, faktanya Iwan lebih kenal Pak Anton dulu dari pada Iwan kenal saya,” ujar Andreau, dikutip dari antara.
Sedangkan terkait uang Rp100 juta, Andreau mengakuinya.
“Tapi setelah tiga hari diberikan saya kembalikan ke Anton. Saya tidak tahu kalau itu isinya uang, pas saya buka awalnya saya pikir dokumen ternyata uang,” kata Andreau.
“Saya tidak menerima pengembalian,” kata Anton membantah pernyataan Andreau.(qq)