Sanjung Puja Prabowo Pada Mulyono

 

Oleh Agus Wahid

Dalam acara HUT Gerindra ke 17 kemarin, Prabowo sampaikan sanjung puja terhadap Jokowi. Sampai-sampai menyatakan, “Jokowi guru politik saya”. Intinya, demikian selangit menyanjung Jokowi alias Mulyono. Sebuah renungan, apa makna di balik balik sanjungan itu?

Ada beberapa makna yang perlu kita lansir lebih jauh. Pertama, sebagai seorang yang notabene dikenal sebagai ahli strategi, maka sanjung puja Prabowo berusaha menghibur Jokowi. Agar mantan Gubernur DKI Jakarta yang gagal ini senang. Tetap diakui keberadaannya. Dan implicitly, Jokowi tak mengganggu pemerintahan Prabowo yang lagi dibangun.

Argumennya sederhana. Sampai detik ini Jokowi masih terlihat post power syndrome. Dia masih berusaha tampil ke arena publik, bagai presiden. Bahkan terus mengundang para tamu ke kediamannya, meski harus membayar para undangan itu. Langkahnya dilakukan agar terjaga kesan Jokowi masih dicintai rakyatnya meski telah tidak menjabat.

Tidak cukup dengan penampakan diri. Jokowi pun melalui Menteri yang dititipkannya berusaha mengganggu kebijakan Prabowo. Hal ini dapat kita saksikan pada sikap Menteri Sakti Surya Trenggono (KKP) dan Bahlil Lahadalia Menteri (ESDM). Diharapkan, dengan pendekatan sanjung puja di hadapan publik, apalagi di arena terhormat (HUT Gerindra), Jokowi mengakhiri penggangguannya.

Jika itu arah politik sanjung puja Prabowo, maka sungguh mulia strategi itu. Tapi, apakah yakin Jokowi akan termakan oleh sanjungan manis Prabowo? Diragukan. Sekedar catatan kecil tapi layak direnungkan, Rocky Gerung dalam acara Karni Ilyas Channel mengutip seorang komunis tulen, bernama Rewang. Rewang sampaikan, “Jangan percaya apapun yang dikatakan dan dilakukan Jokowi”.

Catatan Rewang sangat substatif. Sebagai kawan Jokowi yang seideologis, serius mencatat karakter Jokowi. Karena itu, sanjung puja Prabowo sungguh diragukan akan membuat Jokowi menghentikan manuver politiknya yang sangat tendensius bagi jalannya pemerintahan Prabowo.

Justru, sanjung puja Prabowo menjadi faktor destruktif bagi Prabowo itu sendiri. Yaitu sebagai makna kedua Prabowo dicatat publik sebagai pelindung Jokowi tanpa reserve, padahal telah terang benderang menghancurkan berbagai sendi kehidupan berbangsa dan negara ini.

Analisis ini diperkuat dengan pernyataan Prabowo “mikul nduwur mendem jero” (mengangkat tinggi dan mengubur sedalam mungkin). Pernyataan lebih menjurus pada sikap yang mengajak, “lupakan apapun kesalahan Jokowi”.

Sikap Prabowo menjadi dilema dalam konteks hukum. Kejahatan Jokowi demikian benderang. Tidak hanya terkait PIK 2 dan pemagaran laut yang kini masih heboh, tapi 371 titik pemagaran lainnya di Nusantara ini dalam kerangka merealisasikan program Nawacita One Belt One Road (OBOR). Sebuah desain persekongkolan dengan Negeri Tirai Bambu yang sesungguhnya mengarah pada ikhtiar aneksasi wilayah negeri ini. Kejahatan Jokowi juga demikian benderang pada kasus penghilangan nyawa secara paksa (enam laskar) FPI pada 7 Desember 2020 di Tol Cawang – Cikampek Km 50.

Bangsa ini juga tak bisa lupakan daya zigzag pembangunan infrastruktur Jokowi yang penuh rekayasa mark up, sehingga uang luar negeri (ULN) membengkak hingga lebih Rp 8.000 triliun. Dan ULN ini harus ditanggung oleh Pemerintah Prabowo, yang mendorong muncul kebijakan efisiensi anggaran tanpa mencermati implikasi destruktifnya bagi kepentingan anak bangsa.

Tentu masih banyak kejahatan Jokowi terhadap bangsa dan negeri ini. Tapi, dengan sanjung puja Prabowo terhadap Jokowi apalagi menjadi bemper, maka sebagai makna ketiga Prabowo bisa dinilai sebagai pemimpin yang tak taat hukum, bahkan melecehkan HAM.

Muncul renungan, apakah Prabowo seorang KNIL? Tentu tidak. Tapi, mengapa berkomplot dengan Jokowi yang dinilai banyak pihak sebagai pengkhianat negara? Tudingan ini tentu berdasar: Jokowi dalam masa kekuasaannya banyak mengeluarkan kebijakan yang menunjukkan keberpihakannya kepada negara China.

Dan sebagai makna keempat sanjung puja Prabowo terhadap Jokowi sungguh merendahkan martabat dan kualitas dirinya sendiri. Konon, Prabowo ber-IQ 140. Jika ber-IQ setinggi itu, kenapa berguru pada Jokowi yang ber-IQ rendah. Bahkan pendidikannya juga tidak jelas? Sungguh ironi, Jokowi yang jauh di bawah standar keilmuan rasional dijadikan referensi dan panutan.

Dan yang terakhir, apakah sanjung puja terhadap Jokowi menggambarkan Prabowo kena gendam (sihir)? Pertanyaan ini kini sedang meluas di tengah masyarakat. Bagaimana tidak? Di hadapan publik, beredar sikap kritis masyarakat yang luar biasa sarkastiknya. Juga, terkait hukum dan lain-lain. Tapi itu semua itu seperti dipandang tiada. Maka sebagai makna keenam masyarakat akhirnya meraba kemungkinan Prabowo telah terperdaya, tak bisa melihat dengan jelas tentang sejumlah kejahatan dan kebobrokan moral kekuasaan Jokowi.

Penulis: Analis Politik dan Kebijakan Publik 

Leave A Reply

Your email address will not be published.