Semakin Agresif, Indeks Manufaktur Indonesia Tertinggi dalam 20 Bulan
JAKARTA,Harnasnews.Com – Industri manufaktur nasional menunjukkan kinerja yang semakin agresif, dengan upayanya melakukan peningkatan pada ekspansi dan penyerapan tenaga kerja. Capaian ini didukung dari peran pemerintah dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif serta memberikan kemudahan berbisnis kepada pelaku usaha di Indonesia.
“Pemerintah telah meluncurkan beberapa paket kebijakan ekonomi, di antaranya guna meningkatkan daya saing industri. Selain itu, melalui kebijakan deregulasi dan debottlenecking yang disertai dengan mempermudah persyaratan dan perizinan,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta, Jumat (2/3).
Berdasarkan laporan indeks manajer pembelian (purchasing manager index/PMI) yang dirilis Nikkei dan Markit, PMI manufaktur Indonesia naik dari 49,9 pada bulan Januari menjadi di posisi 51,4 pada Februari 2018. PMI di atas 50 ini kembali diraih, setelah sebelumnya pada Desember 2017 dan Januari 2018 berada di bawah titik netral tersebut.
PMI di atas 50 menandakan manufaktur tengah ekspansif. Bahkan, capaian PMI manufaktur Indonesia di bulan Februari 2018 juga memperlihatkan posisi tertinggi pada kondisi operasional sejak bulan Juni 2016 atau 20 bulan yang lalu.
“Kenaikan PMI tersebut dapat menunjukkan kepercayaan kepada sektor industri agar lebih ekspansi dan menyerap banyak tenaga kerja,” tutur Menperin. Terlebih lagi dengan didukung peningkatan peringkat kemudahan melakukan bisnis (ease of doing business) yang signifikan, dari peringkat 106 pada tahun 2015 menjadi peringkat 72 pada tahun 2017.
Jajak pendapat beberapa manajer pembelian di perusahaan manufaktur Indonesia yang dilakukan Nikkei menunjukkan industri mengalami penambahan tenaga kerja baru karena umumnya terkait dengan kenaikan permintaan domestik. Dengan peningkatan produksi tersebut, perusahaan mampu menaikkan jumlah penggajian untuk pertama kalinya dalam 17 bulan.
Selanjutnya, tingkat pertumbuhan ketenagakerjaan ini merupakan yang tertinggi kedua yang tercatat sepanjang survei. Secara bersamaan, perusahaan juga memiliki sumber daya yang mencukupi untuk memastikan pesanan selesai tepat waktu.
Dalam surveinya, perusahaan pun masih tetap percaya diri bahwa output akan naik di periode tahun mendatang, meski sentimen ini tergolong lemah dibanding tren jangka panjang. “Perbaikan kondisi di pasar domestik menepis penurunan kecil pada permintaan luar negeri untuk produk Indonesia, dengan total order baru dan produksi meningkat untuk pertama kalinya sejak akhir November,” papar Aashna Dodhia, ekonom IHS Markit yang mengompilasi hasil survei.
Merujuk data Kementerian Perindustrian, selama periode tahun 2015-2017, jumlah unit usaha industri menengah dan sedang mengalami peningkatan yang signifikan, yaitu mencapai 4.433 unit usaha sampai triwulan II tahun 2017, jika dibandingkan tahun 2014 sebanyak 1.288 unit usaha. Peningkatan ini ditargetkan akan terus berlangsung pada periode dua tahun ke depan hingga mencapai 8.488 unit usaha di akhir tahun 2019.
Sementara itu, jumlah tenaga kerja yang terserap oleh industri pada periode tahun 2015-2017 ikut meningkat dari 15,39 juta orang pada tahun 2014 menjadi 16,57 juta orang sampai triwulan II tahun 2017 dan ditargetkan akan terus bertambah sampai akhir tahun 2019 hingga mencapai 17,1 juta orang tenaga kerja yang akan terserap oleh industri nasional.
Sejalan dengan peningkatan jumlah unit usaha dan penyerapan tenaga kerja, nilai investasi sektor industri juga meningkat menjadi Rp706,9 triliun pada periode tahun 2015-2017 dibandingkan dengan tahun 2014 yang mencapai Rp195,6 triliun. Nilai investasi ini diprediksi akan terus meningkat lagi hingga mencapai Rp1.759 triliun pada periode dua tahun ke depan.
Pacu investasi dan ekspor
Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin, Ngakan Timur Antara, untuk lebih menggeliatkan kegiatan berusaha dan berinvestasi di Indonesia, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha, yang salah satu upayanya dilakukan melalui pembentukan Satuan Tugas Nasional dalam rangka pengawalan dan percepatan kegiatan berusaha secara nasional.
“Sebagai tindak lanjut, kami telah membentuk Satuan Tugas Percepatan Pelaksanaan Berusaha Kementerian Perindustrian. Satuan tugas ini akan melakukan pengawalan dan percepatan penyelesaian perizinan usaha industri dalam rangka kemudahan melakukan investasi di sektor industri,” paparnya.
Lebih lanjut, guna meningkatkan investasi di sektor industri, beberapa strategi yang akan dilakukan Kemenperin adalah melakukan optimalisasi pemanfaatan fasilitas fiskal seperti tax holiday, tax allowance, dan pembebasan bea masuk impor barang modal atau bahan baku.
Selain itu, Kemenperin telah mengusulkan adanya terobosan fasilitas baru bagi kegiatan investasi dalam bentuk super deduction untuk kegiatan litbang dan vokasi serta pengurangan PPh bagi industri padat karya yang mampu menyerap lebih dari 1000 orang.
Di samping investasi, upaya yang tengah dilakukan pemerintah adalah meningkatkan ekspor. Pada tahun 2017, ekspor Indonesia mencapai USD168,81 miliar, naik 16,26 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebesar USD145,18 miliar. “Capaian tersebut tidak terlepas dari peningkatan ekspor yang terjadi di sektor industri yang merupakan kontributor utama dalam struktur ekspor Indonesia,” ungkap Ngakan.
Pada tahun 2017, ekspor produk industri sebesar USD109,76 miliar, naik 13,14 persen dibandingkan tahun 2016 yang mencapai USD125,02 miliar. Capaian ekspor produk industri di tahun 2017 tersebut memberikan kontribusi hingga 74,10 persen terhadap total ekspor Indonesia.
Sebagai strategi awal untuk peningkatan ekspor, Kemenperin telah melakukan identifikasi terhadap 15 industri prioritas berorientasi ekspor pada tahun 2018, yang meliputi industri pengolahan minyak kelapa sawit dan turunannya, industri makanan dan minuman, industri kertas dan barang dari kertas, industri crumb rubber, ban, dan sarung tangan karet, serta industri kayu dan barang dari kayu.
Selanjutnya, industri tekstil dan produk tekstil (TPT), industri alas kaki, industri kosmetik, sabun dan bahan pembersih, industri kendaraan bermotor roda empat, industri kabel listrik, industri pipa dan sambungan pipa dari besi, industri alat mesin pertanian, industri elektronika, industri perhiasan, serta industri kerajinan.
“Kami juga mendorong perluasan ekspor ke pasar nontradisional, seperti negara-negara di kawasan Amerika Tengah dan Selatan, Karibia, Eropa Tengah dan Timur berikut organisasi regionalnya, Afrika, Timur Tengah, serta negara-negara di sekitar Samudera Hindia yang memiliki potensi pasar yang besar untuk digarap,” tutur Ngakan.
Strategi lainnya, melalui lobi dan negosiasi dalam kerangka peningkatan kerja sama bilateral dan multilateral dengan mengurangi tarif dan non-tariff barrier untuk membuka kemudahan penetrasi pasar. “Upaya yang juga ditingkatkan adalah fasilitasi promosi produk dan business matching di negara tujuan eksporbaru,” imbuhnya.
Ngakan menambahkan, terdapat fasilitas pembiayaan ekspor yang perlu dioptimalkan dalam rangka meningkatkan persaingan dari sisi harga di negara tujuan ekspor. Sejak tahun 2015, Pemerintah Indonesia meluncurkan program penugasan khusus ekspor kepada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) untuk menyediakan dukungan pembiayaan kepada pelaku usaha yang melakukan ekspor.
Adapun bentuk fasilitas pembiayaan ekspor tersebut meliputi pembiayaan, penjaminan, dan/atau asuransi. Sektor industri yang telah memanfaatkan fasilitas ini antara lain adalah industri kereta api, industri TPT, industri furnitur, dan industri pesawat udara. Ke depannya, akan diupayakan adanya perluasan cakupan sektor industri yang dapat diberikan fasilitas pembiayaan ekspor.(ed)