JAKARTA, Harnasnews – Hari Pahlawan 2024 menjadi momen yang penuh makna bagi Pejuang Tenaga Kesehatan (nakes) Eks Timor-Timur. Setelah bertahun-tahun mengabdi di medan yang penuh bahaya di Timor-Timur, mereka kini merasa dibuang oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui pemutusan hubungan kerja (PHK) massal mendadak yang menimbulkan rasa ketidakadilan.
Dulu, saat ABRI berjuang di hutan, para nakes ini menjadi garda terdepan, menjaga kesehatan di desa-desa yang penuh ketakutan dan ancaman, demi merah putih. Namun kini, mereka ditinggalkan tanpa penjelasan, merasakan pengabaian di balik sorak perayaan Hari Pahlawan.
Muhammad Jufri Sade, salah satu tenaga kesehatan yang terdampak, mencurahkan kesedihannya atas keputusan Kemenkes yang memberhentikan anggota Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 69/M Tahun 2024.
Selama dua tahun, KTKI telah bekerja keras menerbitkan Surat Tanda Registrasi (STR) bagi lebih dari 1,6 juta tenaga kesehatan. Namun semua itu tampak sia-sia di mata keputusan sepihak yang mencampakkan pengabdian mereka.
Menurut Jufri, ini bukan hanya masalah administratif, melainkan penghinaan terbesar dalam 36 tahun pengabdiannya, bahkan lebih menyakitkan daripada saat ia menyaksikan turunnya bendera merah putih di Timor Timur pada 1999.
Kementerian Kesehatan yang seharusnya melindungi mereka justru memperburuk luka. “Menkes memperlakukan kami seperti sampah,” ujar Jufri, dengan suara bergetar menahan duka.
Dengan latar belakang dua tahun pengabdian di bawah naungan Menteri Kesehatan, keputusan PHK massal yang didasarkan pada PMK 12/2024 dan Kepres 69/M/2024 yang diduga mengandung mal-administrasi ini sangat mengejutkan dan menghancurkan semangat mereka.
“Saat melihat bendera merah putih turun di Timor Timur, hati saya hancur. Namun perlakuan Kemenkes yang membuang kami seperti ini lebih menyakitkan dari apapun. Mereka tak punya nurani. Selama dua tahun kami bekerja keras, tapi tidak sekalipun Menteri Kesehatan menemui kami,” ungkap Jufri, suaranya penuh kecewa, menggugah tanya tentang keadilan yang hilang di balik kebijakan yang tidak berpihak pada pengabdi.
Baequni, nakes eks-Timor Timur lainnya, juga menegaskan ketidakadilan yang mereka alami. Ia mempertanyakan sikap Kemenkes yang tidak konsisten terhadap aturan yang dibuat sendiri.
“Bukankah Kemenkes yang mewajibkan Komisioner KTKI untuk tidak rangkap jabatan?” tanyanya penuh kekecewaan.
Setelah Kepres 31/M/2022 disahkan, aturan tersebut mengharuskan anggota KTKI mundur dari jabatan PNS sebelum mengangkat sumpah di hadapan Menteri Kesehatan. Namun, ironisnya, Menteri Kesehatan justru mengambil sumpah anggota KKI yang masih diduga memiliki jabatan rangkap.
“Kenapa ada dua standar?” serunya. “Apakah Dirut RSCM dan Direktur RSUD Lampung benar-benar telah melepaskan status PNS mereka?” Baequni mempertanyakan ketidakadilan yang ia anggap meruntuhkan kepercayaan terhadap sistem yang ada.
“Ini tidak adil, ini meruntuhkan kepercayaan kami pada keadilan,” katanya dengan penuh kekecewaan.
Rachma Fitriati, Komisioner KTKI-Perjuangan, menyerukan agar Presiden Prabowo segera turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini dan membela martabat tenaga kesehatan yang terdampak maladministrasi PMK 12/2024 dan Kepres 69/M/2024.
“Pemimpin sejati bekerja untuk rakyat,” tegasnya, mengutip Prabowo yang menekankan pentingnya kesetiaan terhadap bawahan dalam bukunya Kepemimpinan Militer (2020).
“Menkes telah mengabaikan kami, para pejuang kesehatan, yang diperlakukan layaknya sampah,” tambah Accep Effensi, eks-PNS NTT yang memilih pensiun dini demi membela KTKI.
Rachma mempertanyakan mengapa Menteri Kesehatan berlindung di balik aturan yang seolah tanpa mitigasi, membuang para nakes KTKI-P tanpa pertimbangan manusiawi. “Pemimpin sejati membela anak buahnya, bukan menjadikan mereka korban di saat kesulitan,” ungkapnya dengan penuh kekecewaan.
“Demi menegakkan keadilan, PMK 12/2024 dan Kepres 69/M/2024 seharusnya dibatalkan demi hukum agar tidak menjadi preseden buruk bagi Lembaga Non-Struktural di Indonesia,” tegas Prof. Dr. H. Dailami Firdaus, SH., LL.M., MBA., Senator DKI Jakarta dan Wakil Ketua Komite III DPD RI.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta ini mengingatkan bahwa asas non-retroaktif harus diperhatikan; undang-undang baru seharusnya berlaku untuk masa depan, bukan surut ke belakang.
Menurutnya, UU No. 17/2023 tentang Kesehatan tidak seharusnya mengakhiri KTKI yang diangkat melalui Kepres 31/M/2022 berdasarkan UU No. 36/2014, sebelum Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) yang baru terbentuk.
“Jika mengacu pada UU No. 17/2023 pasal 450 dan PP 28/2024 Pasal 1167, KTKI seharusnya tetap menjalankan tugasnya hingga Konsil baru terbentuk,” tegasnya.
Pembubaran KTKI melalui PMK 12/2024 adalah pelanggaran keadilan. “Hukum dibuat untuk menjaga keadilan dan melindungi hak individu,” ujar Dailami, mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan tempat bagi penyalahgunaan kekuasaan.
“Kami yang pernah berada di garis depan saat ini tidak ingin diposisikan melawan pemerintah,” ujar Muhammad Jufri Sade dan Baequni, dengan penuh harap.
“Namun, kami berani bersuara karena ada rasa tanggung jawab besar agar Kementerian Kesehatan tidak bertindak semena-mena dan mau mendengarkan rakyat. Kami ingin kementerian ini kembali seperti dulu—menjadi pilar harapan bagi banyak orang, menjaga kepercayaan publik, dan meningkatkan kesehatan bangsa dengan langkah-langkah yang terukur dan rencana kerja yang matang. Bagaimana mereka bisa bertindak adil, sedangkan PHK kami saja merupakan bentuk arogansi yang menyayat rasa keadilan?”
Jufri dan Baequni mengingatkan bahwa Kementerian Kesehatan pernah menjadi simbol harapan dan pengabdian yang tulus, tempat rakyat mengadu ketika kesehatan mereka terancam. Mereka menegaskan bahwa suara mereka bukanlah bentuk perlawanan, melainkan panggilan untuk mengingatkan kembali bahwa kesejahteraan rakyat adalah prioritas utama.
“Kami ingin melihat Kementerian Kesehatan kembali menjadi pelindung dan pembimbing yang setia, sesuai dengan visi besar bangsa ini untuk memastikan kesehatan yang layak dan terjangkau bagi semua,” tutup Jufri dan Baequni, dengan tekad yang masih menyala di tengah kebingungan terhadap keputusan Menkes.