JAKARTA, Harnasnews – Di tengah upaya Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam mengatasi persoalan agraria masih ada saja oknum mafia tanah yang sengaja melakukan cara-cara kotor guna mendapatkan keuntungan pribadi akan tetapi merampas hak orang lain.
Seperti halnya kasus yang menimpa Sahrul Bosang, pemilik tanah di Desa Moyo, Kecamatan Moyo Hilir, Kabupaten Sumbawa, NTB, seluas 10.490 M2. Ia harus kalah di Mahkamah Agung (MA) lantaran adanya dugaan korban dari mafia tanah.
Sahrul Bosang melalui kuasa hukumnya, Dr. Umaiyah, S.H, M.H, mengatakan, atas putusan MA tersebut pihaknya akan tetap mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Alasan yang sangat kuat dirinya mengajukan hukum luar biasa adalah menyangkut kewenangan Hakim Agung.
Pihaknya juga mempertanyakan penerapan hukum yang dilakukan oleh MA. Pasalnya dalam sidang sebelumnya, terkait dengan proses hukum kasus penjualan tanah kliennya oleh anak penggarap bernama Nurjayanti kepada Rusmin Junaidi/Edot, baik itu di tingkat Pengadilan Negeri (PN) Sumbawa dan Pengadilan Tinggi (PT) Mataram NTB telah dimenangkan oleh kliennya.
“Jika ada satu perkara menang dan satunya kalah maka berarti membenarkan salah satu penerapan hukum. Dalam kasus ini klien kami (Sahrul Bosang) sudah memenangkan putusan di dua pengadilan sebelumnya. Seharusnya rekonvensi mempertimbangkan fakta sidang baik di tingkat PN dan PT,” ujar Dr.Umaiyah saat diwawancarai wartawan via telepon selulernya, baru-baru ini.
Dalam sidang sebelumnya hakim Pengadilan Negeri Sumbawa dan hakim Pengadilan Tinggi Mataram NTB menolak sertifikat yang dimiliki oleh tergugat, lantaran asal usul tanah tersebut bukan dari pemilik yang sah (Sahrul Bosang).
“Ada fakta di persidangan yang perlu diketahui oleh Hakim Agung. Karena pihak tergugat yakni anak dari penggarap tanah Sahrul Bosang tidak bisa membuktikan asal tanah yang dijual tersebut. Padahal fakta sebenarnya adalah Pak Sahrul memiliki tanah itu warisan turun temurun dari orang tuanya,” katanya.
Bahkan anak dari penggarap sendiri saat dihadirkan di persidangan sudah mengaku khilaf telah menjual tanah milik Sahrul yang dia kira itu milik orang tua si penjual. Padahal penggarap (orang tua penjual) saat itu hanya diamanahkan untuk merawat tanah tersebut oleh orang tua Sahrul Bosang.
Selain itu, kata Umaiyah, pihaknya juga telah memiliki beberapa alat bukti di antaranya surat penyerahan tanah dari penggarap ke kliennya, kemudian pernyataan bahwa tanah yang digarapnya itu bukan milik sendiri melainkan milik Sahrul Bosang.
“Sehingga Hakim PN maupun PT saat itu tidak berani mengesahkan sertifikat tersebut. Dan ada surat resmi dari penjual (anak penggarap), hal itu akan kita jadikan bukti nanti di saat PK. Bahkan si penjual mengatakan permohonan maaf telah menjual tanah, karena sangking lama orang tuanya menggarap tanah pak Sahrul sehingga si penjual mengira tanah tersebut milik orang tuanya,” tandasnya.
Oleh karena itu, pihaknya dalam kasus ini tetap meminta keadilan dari Mahkamah Agung sehingga kasus yang menimpa kliennya dapat memenuhi rasa keadilan.
Sementara itu, Sahrul Bosang menambahkan, bahwa Bolang Pogo yang merupakan penggarap tanah Haji Ahmad Bosang (orang tua dari Sahrul Bosang) seluas @4,0 Ha sebelumnya tidak pernah menjual tanah yang digarapnya sejak tahun 1973 hingga tahun 2014 saat diserahkan kepada Sahrul Bosang.
Justru anak Bolang Pogo yang bernama Nurjayanti yang menjual tanah Sahrul Bosang pada tahun 2007 dengan luas @1,04 Ha kepada Rusmin Junaidi/Edot hingga terbitnya sertifikat hak milik SHM pada tahun 2013, sebelum Bolang Pogo meninggal dunia.
Saat dihadirkan di persidangan di PN Sumbawa, Nurjayanti juga mengakui kekeliruannya karena telah menjual tanah Sahrul Bosang yang dikira adalah tanah milik bapaknya. Hal itu berdasarkan surat pernyataan Nurjayanti tertanggal 24 April 2017.
Sahrul mengatakan pada tahun 2012 dirinya datang dari Jakarta menemui penggarap di Desa Tengke, Kecamatan Moyo Hilir, dengan membawa Surat wasiat dari orang tuanya, bahwa ia akan menggarap sendiri tanah yang selama ini digarap oleh Bolang Pogo. Dimana di atas tanah tersebut bermaksud digunakan untuk memelihara sapi.
“Selanjutnya, penggarap menyerahkan tanah pada tahun 2014 secara utuh tanpa ada menyebut nama-nama mereka yang sudah membuat sertifikat hak milik (SHM) di atas tanah yang selama ini dipercayakan oleh orang tua kami kepada si penggarap tadi,” ungkap Sahrul.
Namun, ketika pihaknya melakukan pemagaran lokasi untuk pelihara sapi, ternyata Sahrul baru mengetahui jika tanah miliknya itu sudah disertifikatkan (SHM) atas nama orang lain di tahun 2013 dengan luas 1,04 Ha dari 4 Ha di lahan keseluruhan yang sudah diserahkan oleh penggarap kepada Sahrul pada tahun 2014.
Oleh karenanya Sahrul dilaporkan Rusmin Junaidi/Edot ke Polsek Moyo Hilir atas tuduhan penyerobotan tanah. Namun karena Sahrul dapat membuktikan dokumen lengkap bahwa tanah tersebut adalah miliknya, maka pihak kepolisian tidak melanjutkan laporan tersebut.
“Saat itu pihak kepolisian tidak dapat menindak lanjuti laporan atas penyerobotan tanah, karena tanah yang disertifikatkan oleh Edot tersebut adalah benar milik kami yang pernah digarap oleh Bolang Pogo,” ujarnya. (*)