JAKARTA, Harnasnews.com – Bau sangit merebak dari tong-tong hitam yang berjejer rapi di gazebo milik Bank Sampah Hijau Selaras Mandiri di Kelurahan Kebon Kosong, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Di tong-tong itu pendiri sekaligus ketua Bank Sampah Hijau Selaras Mandiri Esti Sumawarti dan pengurus bank sampah lainnya menempatkan kulit pisang, nasi, dan aneka sisa makanan lain untuk diolah menjadi kompos.
“Ini harus didiamkan beberapa lama sebelum nanti menyusut, terus berakhir jadi kompos,” kata Esti.
Bank sampah yang dikelola Esti selain menerima sampah anorganik seperti plastik juga menerima sampah organik. Kalau sampah anorganik bisa ditukar dengan uang senilai Rp1.500 per kilogram, sampah organik nilai tukarnya Rp500 per kilogram.
“Ini salah satu cara supaya masyarakat mau memilah sampah. Kalau tidak ada hasilnya yang nyata tidak mau mereka,” kata Esti.
Sejak tahun 2013, masa awal Esti membangun bank sampah bersama suaminya Slamet Suhardi yang kini sudah meninggal dunia, pemilahan sampah menjadi salah satu tantangan besar.
Tidak seperti warga negara maju yang umumnya sudah terbiasa memilah sampah, bahkan sampai memisahkannya dalam 34 kategori sebagaimana di Kota Kamikatsu, Jepang, warga Kelurahan Kebon Kosong dan kelurahan lain yang ada di Jakarta, bahkan Indonesia, belum biasa melakukannya.
Esti berusaha menanamkan pengetahuan mengenai pentingnya memilah sampah dan menumbuhkan kesadaran warga sekitarnya memisahkan sampah organik dengan anorganik sambil menjalankan usaha bank sampahnya.
Hasil usahanya tampak pada peningkatan jumlah nasabah Bank Sampah Hijau Selaras Mandiri serta hasil simpanan sampah organik maupun anorganik mereka.
Kini, bank sampah itu memiliki 116 nasabah, 26 di antaranya dari luar Kemayoran. Meski tidak semuanya aktif, sebagian nasabah secara teratur mengantarkan sampah mereka ke Kelurahan Kebun Kosong.
Simpanan bank sampah selama Januari-Maret 2019 meliputi sampah botol plastik sebanyak 63,5 kilogram dengan nilai sekitar Rp95.250 dan 1.904 kilogram sampah hayati senilai Rp952.000.
Bank Sampah Hijau Selaras Mandiri menyalurkan sampah anorganik dari warga ke pengepul yang akan mengirimnya ke pendaurulang. Sampah organiknya mereka olah sendiri menjadi pupuk.
Pupuk kompos dan lindi (pupuk cair) produksi bank sampah itu dijual, sebagian besar kepada nasabah, termasuk sekolah-sekolah di sekitar Kemayoran yang memiliki kegiatan bercocok tanam.
“Yang beli SD, kadang RPTRA (Ruang Publik Terpadu Ramah Anak), kadang juga nasabah sendiri yang senang menanam. Mereka kurangi dari rekeningnya. Itu mengurangi kewajiban saya membayar sampah mereka,” ujar Esti.
Belum Tuntas
Esti mengatakan masalah pemilahan sampah di daerahnya tidak selesai dengan tumbuhnya kebiasaan warga memisahkan sampah organik dan anorganik.
Kadang, meski warga sudah memisahkan sampah organik dan anorganik, petugas kebersihan yang mengambil sampah mereka mencampurnya kembali di truk sampah.
“Harus selalu dibilangin ini sampah organik, anorganik. Jadi itu memang kebiasaan yang sulit sekali,” kata Esti, yang tahun 2015 menerima penghargaan Kalpataru tingkat DKI Jakarta.
“Inginnya menyebar ke masyarakat hingga ke petugas kebersihan,” katanya.
Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Pusat sudah beberapa kali mengundang Esti untuk berbicara soal pentingnya memilah sampah kepada warga, para pedagang di pasar dan petugas kebersihan.
“Kalau pemerintah mau harusnya bisa untuk keras dengan petugas yang paling ujung, Dinas Kebersihan. Jadi mereka belajar memilah sampah organik dan anorganik,” katanya.
“Supaya pasar bersih, pedagang diberi pendidikan untuk tidak mencampur sampah,” ia menambahkan.
Tumbuh dari kegagalan
Esti dan suaminya memulai upaya membangun Bank Sampah Hijau Selaras Mandiri setelah tim Kelurahan Kebon Kosong gagal memboyong gelar juara lomba pengelolaan lingkungan tahun 2011.