JAKARTA, Harnasnews – Sosiolog politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubaidillah Badrun menilai sebuah gerakan sosial dalam melawan rezim kekuasaan hanya mungkin dilakukan jika memiliki soliditas yang kuat, gagasan yang hebat dan gerakan yang militan.
Menurut dia, dari prasyarat itu, ada sebagian yang terpenuhi oleh mahasiswa. Yakni gagasan kuat dan gerakan yang militan. Namun ia menilai belum ada soliditas dalam gerakan tersebut.
Oleh karena itu kata Ubaidillah perlu adanya komitmen yang kuat dari mahasiswa, dosen maupun para profesor dalam melawan rezim.
Bila perlu mahasiswa menyerukan kepada para profesor yang selama ini mengajarkan objektivitas agar bersama-sama berjuang menegakkan kebenaran.
“Apa gunanya profesor kalau kemudian mereka hanya bertengger di menara gading sementara derita rakyat di depan mata. Jadi temen-teman mahasiswa tidak sendiri. Ada dosen-dosen yang menginginkan agar bangsa ini dipandu oleh ilmu pengetahuan,” ujar Ubaidillah dalam sambutannya sebuah diskusi yang ditayangkan di YouTube Rafly Harun dikutif Harnasnews, Selasa (6/2/2024).
Lebih lanjut kata, Ubaidillah, saat ini adalah momentum bagi mahasiswa, karena telah muak dengan praktik kotor berdemokrasi yang dilakukan oleh rezim saat ini.
“Kami para dosen tentu akan dukung gerakan mahasiswa untuk turun ke jalan,” ujar Ubaidillah.
Dalam kesempatan itu Ubaidillah juga menyinggung soal kontestasi pemilu yang dinilai berjalan tidak sesuai dengan demokrasi. Di mana ketua KPU sejak awal sudah cacat moral sebagaimana disebutkan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP).
“Itu merupakan pernyataan keras. Kalau sekali lagi melakukan pelanggaran maka ketua KPU diberhentikan,” ujarnya.
Menurut Ubaidillah, penyelenggara pemilu sejak awal sudah cacat. Kemudian dalam pemilu itu ada wasit politik dalam menyelesaikan perkara pemilu, yakni Mahkamah Konstitusi (MK)
“Dalam menyelesaikan masalah sengketa pemilu ada wasit pemilu atau MK. Problemnya lagi, wasitnya sejak awal juga cacat moral. Jadi penyelenggara pemilu cacat moral dan wasitnya cacat moral yang dimulai dari putusan MK no 90,” katanya.
Kemudian, yang bertanggungjawab secara umum penyelenggaraan pemilu adalah presiden. Namun, kata Ubaidillah, presiden pun sejak awal sudah cacat karena ikut cawe-cawe dalam politik.
“Dan ini menjadi aktor utama dari seluruh drama politik yang kotor ini. Jadi tidak mungkin pemilu ini akan menghasilkan proses demokrasi yang berkualitas dan menghasilkan pemimpin yang ideal sebagaimana yang dicita-citakan rakyat banyak,” tegas Ubaidillah.
Jadi, kata Ubaidillah, jika aktor utamanya masih bertengger dan ikut mengendalikan proses politik, maka sepanjang itu pula harapan masyarakat tidak akan menjadi kenyataan. (Pri)