
Oleh: Prof. Yudhie Haryono
Astika Wahyuaji, perempuan penanam rindu. Ini surat maha duka, batu pondasi bagi iklim kenalaran asasi. Engkau harus tahu. Pada akhirnya, perjuangan manusia melawan kesepian adalah perjuangan manusia melawan kebodohan.
Taukah engkau? Bahwa di Indonesia itu meriset dan menulis adalah kemampuan untuk beranjak dari suatu kegagalan tanpa kehilangan semangat dan harapan. Satu aktifitas yang disebut guru SHD, “hening dan beraksi.”
Karenanya, engkau harus ingat bahwa cita-cita, iman dan mimpi adalah magnet besar dalam hidup kita. Jika kita memikirkan program besar, maka kita akan menarik sekeliling untuk mendukung dan mencapainya (mestakung). Jika kita memikirkan masalah dan kebodohan, maka kita akan menarik masalah dan sejumlah rintangan plus kebodohan pula. Kita adalah medan energi magnetik dan kinetik sekaligus.
Engkau harus mengerti. Pada ujungnya, secangkir kopi, cinta dan mati adalah candu. Mampukah manusia menghindarinya? Aku mencanduimu secandu-candunya. Maha candu atas segala kekangenan yang tidak tak terperi sepanjang hari.
Engkau harus memahami. Sudah lama kita semua tersesat dalam logika pembangunan yang menyembah pertumbuhan, menuhankan utang dan beriman pada prifatisasi. Tak seorang presidenpun mampu merubah haluan sesat itu. Hasilnya hanya ketersesatan dan kejumudan yang berulang dan dalam.
Maka kini, pemimpin yang pancasilais itu adalah pejabat yang menghindari masalah sambil menciptakan masalah serta mewariskannya. Pada kita semua.
Sebab, di zaman gila, semua kewarasan tidak berharga; semua kenalaran tidak ada artinya. Maka, kita tak pernah membayangkan betapa rumitnya memperhatikan polah dik Kowi. Dasamuka. Ratusan wajah. Lama sudah kumenunggu seutas sikap tulus politiknya. Sebab, belum pernah kutemui manusia Indonesia sepertinya.
Ia, jancuk sejancuk-jancuknya. Takkan kudapatkan rasa mangkel semangkel dunia kejam pada kami semua. Kubayangkan bila ia kalah maka caci maki makin serapah. Penjara dan penjarah layak buatnya. Dan, tak mungkin kami menjadi penjaga harta, jiwa dan raganya. Kenapa ia begitu, tetap kutaktahu. Ia gila di zaman gila. Pas.
Maka, fatwa politik zaman gila (kalatida) adalah, “aku ada karena menipu dan para penipu sepertiku akan dibela oleh para pendusta, dikelilingi oleh para penjilat, disanjung oleh para pengkhianat, dan didoakan oleh para munafikun serta dibiayai oleh oligarkun yang majnun.”
Inilah ekosistem politik kita duapuluh tahun terakhir pasca penggantian konstitusi dan dikuburnya Negara Pancasila.
Ya. Kegilaan itu mirip seperti zaman kolobendu cultuurstelsel (tanam paksa). Ini adalah era paling eksploitatif dalam praktik penjajahan ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah.
Petani yang pada zaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada penjajah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia Belanda pada 1835 hingga 1940. Sinting bener sistem ini.
Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839. Kini, elite-silite kita mereplikasi ide itu dan mempraktekannya.
Penulis: Rektor Universitas Nusantara