
Target Pemerintahan Prabowo, Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Mustahil Tercapai Tanpa Industri yang Kuat
JAKARTA, Harnasnews – Institut for Development of Economics and Finance (INDEF) bersama Universitas Paramadina menggelar diskusi publik bertajuk “Mustahil Tumbuh 8% Tanpa Industri yang Kuat” secara online melalui zoom meeting pada Kamis (27/2/2025).
Prof. Ahmad Badawi Saluy, Guru Besar Universitas Paramadina, menyoroti tren perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 2011. Hingga triwulan IV tahun 2024, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 5,03%, turun dari rata-rata 6% pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo. Selain itu, kontribusi industri manufaktur terhadap PDB juga mengalami penurunan dari target 19,9%-20,05% menjadi hanya 18,98%.
“Industri manufaktur sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi mengalami pelemahan signifikan. Pada 2024, dari pertumbuhan ekonomi 5,02%, hanya 1% yang berasal dari industri pengolahan, jauh di bawah sektor perdagangan yang berkontribusi 0,67%” ujar Prof. Badawi.
Prof. Badawi melihat Skor Competitive Industrial Performance (CPI) Index Indonesia juga terus menurun selama lima tahun terakhir, dengan posisi ke-39 di bawah Vietnam (ke-30), Thailand (ke-25), dan Malaysia (ke-20). Struktur industri nasional masih didominasi oleh sektor berbasis sumber daya (47,4%) dibandingkan industri berteknologi tinggi yang hanya 4,5%.
Dr. Ariyo DP Irhamna, Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, menyoroti tantangan dalam struktur kabinet pemerintahan yang gemuk. Menurutnya, hal ini berpotensi menghambat koordinasi dan pengambilan keputusan strategis.
“Rapat kabinet sering kali menyerupai seminar nasional daripada forum pengambilan keputusan yang efisien. Pemerintah membutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk menyelaraskan kebijakan akibat perubahan nomenklatur kementerian dan lembaga” jelas Dr. Ariyo.
Ia juga membandingkan dengan tren global yang justru merampingkan kabinet, seperti Argentina yang memangkas jumlah kementerian dari 21 menjadi 11, serta Vietnam yang berencana mengurangi jumlah kementerian dari 30 menjadi 21 untuk meningkatkan efisiensi.
Dari sisi industri manufaktur, Purchasing Manager Index (PMI) Indonesia sempat mengalami peningkatan pascapandemi COVID-19, namun menunjukkan tren penurunan pada 2025. Hal ini menjadi sinyal kurang baik bagi industri nasional, yang juga mengalami kesenjangan dalam penyerapan tenaga kerja. Sektor pertanian masih menjadi penyerap tenaga kerja terbesar (28,18%), disusul perdagangan (18,89%), dan industri pengolahan (13,83%).
Muhammad Iksan, Ph.D., Dosen Universitas Paramadina, menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi sebesar 8% merupakan prasyarat penting bagi kesejahteraan rakyat. Namun, terdapat tiga tantangan utama yang harus diatasi, yaitu deindustrialisasi dini, rendahnya kemampuan industri dalam mengelola kompleksitas tugas, serta ketimpangan pembangunan antarwilayah.
“Indonesia mengalami deindustrialisasi dini, berbeda dengan negara-negara seperti Brasil yang justru mengalami peningkatan kompleksitas industri sejak tahun 1990-an. Indonesia harus kembali ke jalur industrialisasi, melakukan inovasi, dan menuntaskan agenda pembangunan yang inklusif” ungkap Muhammad Iksan.
Untuk mencapai target pertumbuhan 8%, diskusi ini merekomendasikan langkah-langkah strategis, yaitu dengan revitalisasi sektor manufaktur dengan mendorong industri berteknologi menengah dan tinggi; peningkatan daya saing industri nasional melalui kebijakan yang mendukung industrialisasi berbasis tenaga kerja intensif; optimalisasi koordinasi pemerintahan agar respons kebijakan lebih cepat dan efisien; dan mendorong inovasi dan investasi industri yang dapat meningkatkan nilai tambah ekspor.
Diskusi ini menegaskan bahwa tanpa industri yang kuat, pertumbuhan ekonomi Indonesia sulit mencapai target 8%. Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah, akademisi, dan pelaku industri menjadi kunci dalam merumuskan kebijakan yang efektif untuk memperkuat sektor industri nasional.