JAKARTA, Harnasnews – Menjelang Pemilu 2024, sejumlah lembaga survei terus merilis terkait calon presiden-wakil presiden bertebaran. Bahkan, hampir setiap bulan, ada saja lembaga survei membeberkan hasil survei terbarunya.
Problemnya, banyak lembaga disinyalir menjalankan surveinya tanpa berbasiskan kaidah-kaidah ilmiah. Lantas bagaimana membedakan lembaga survei yang kredibel dengan yang abal-abal?
Seperti diketahui, survei adalah alat yang digunakan untuk mengukur suatu populasi atau pendapat mengenai dampak positif dan negatif, dengan kata lain survei ini menjadi alat yang begitu penting untuk suatu pengukuran jika itu melibatkan banyak orang sehingga datanya hampir 90 persen diyakini, terutama jelang kontestasi politik.
Begitu banyak lembaga di Indonesia yang menyediakan jasa survei. Belakangan beredar isu mengenai survei bayaran atau dengan kata lain survei yang direkayasa.
Pengamat politik Adi prayitno menilai ketika berbicara hasil survei, masyarakat harus berpikir realistis. Sebab, banyak lembaga survei yang diduga tidak objektif. Dengan kata lain bagaimana menentukan hasil berdasarkan siapa yang membayarnya.
“Ya namanya survei pasti dibayar lah, mana ada orang yang survei terus ga dibayar? Realistis aja,” ujar Adi, sebagaimana dilansir dalam channel youtube pribadinya yang dikutip media ini.
Menurut dia, survei itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit karena mengingat jumlah responden yang tidak sedikit dan pemilih yang terdistribusi di 34 provinsi. Jasi sangat mustahil jika itu tidak menggunakan logistik.
Adi juga menyampaikan bahwa survei itu tidak ada persoalan menggunakan dana dari siapa, sebab bagi dirinya adalah hasil dari survei tersebut tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun.
Maka dari itu diperlukan dedikasi yang tinggi dalam melakukan survei supaya tidak dipengaruhi oleh pihak yang memiliki kepentingan.
“Sebenarnya tidak ada persoalan jika survei itu menggunakan dana dari siapa, tetapi yang terpenting adalah dedikasi dari survei itu tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun. Termasuk orang yang membayar survei tersebut,”tegas Adi.
Adi juga menjelaskan bahwa survei sejatinya dapat digunakan oleh siapapun yang memang ingin mengetahui perspektif publik terhadap isu-isu apapun termasuk isu politik.
“Karena survei itu bisa digunakan siapa yang yang ingin mengetahui perspektif publik terhadap isu apapun termasuk isu politik,” jelas Adi.
Sementara, Pengamat politik Rocky Gerung mempertanyakan terkait dengan hasil rilis sejumlah lembaga survei mengunggulkan elektabilitas Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Padahal, kata dia, elektabilitas Ganjar tak setinggi yang diungkap oleh lembaga survei.
Rocky mencurigai bahwa lembaga survei tersebut disogok. Ia pun mencontohkan terkait dengan kasus Bupati Kapuas dan Istri yang korupsi uang untuk bayar dua lembaga survei.
“Soal Ganjar dan PDIP yang menolak Israel ini jadi pintu masuk sebetulnya untuk melihat data dasar dari pemilih Ganjar maupun PDI Perjuangan yang sebetulnya bahwa kita tahu elektabilitasnya itu rendah sekali,” ucap Rocky dikutip dari channel Youtube pribadinya, Sabtu (16/4/2023).
Hal ini lanjut Rocky karena Ganjar berani dan terpaksa bermain di ceruk yang bukan bagian dia.
“Kalau benar dia bangga aja dengan elektabilitas tinggi, artinya dia enggak cukup dengan kelompok sekuler atau kelompok plural yang sering disebut-sebut,” jelas dia.
Demikian juga dengan PDIP yang kita tahu bahwa sebelumnya elektabilitas atau tingkat kesukaan ke Ganjar itu rendah sekali.
“Kalau mereka kuat, maka mereka tidak akan berani main isu ini dan mereka akan diam-diam saja,” imbuh Rocky.
Rocky menyebut bahwa Ganjar dan PDIP seharusnya tak bermain di isu soal penolakan Israel untuk mencari dukungan komunitas Muslim.
“Kalau dia yakin dengan elektabilitas tinggi dengan pemilih sekulernya yang non Muslim, terutama Ibu Mega yang juga dulu menyebut tak perlu pemilih Islam, tuh sekarang terbukti bahwa dasar-dasar konstituen mereka atau demografi mereka kurang sekali dan itu juga tanggung jawab dari lembaga survei,” ucap dia. (Red)