Terlambat Membayar Cicilan, Janda Ini Mengaku Diintimidasi Pihak Debitur
BOGOR, Harnasnews – Suhartati (seorang janda) mengaku terintimidasi atas kasus yang menimpa dirinya. Dimana ia sebelumnya pernah meminjam uang sebesar Rp 15.000.000 kepada KSP KB yang beralamat di Cipayung Jakarta Timur.
Adapun sebagai jaminan dalam pinjaman itu yaitu berupa BPKB kendaraan mobil Daihatsu Feroza atas nama suaminya yang bernama Iryanto (almarhum) yang beralamat Jalan Raya Alfalah, Cikaret Cibinong Kabupaten Bogor.
Menurut Suhartati dari jumlah pinjaman Rp 15 000.000 itu, ia mengaku hanya menerima Rp 9.000. 000, karena sebelumnya telah dipotong oleh pihak koperasi dengan dalih sebagai uang deposit.
“Sehingga uang yang saya terima hanya 9000.000 rupiah, dengan cicilan perbulan 1.914,000 selama 18 bulan,” kata Suhartati kepada awak media di Bogor, Kamis (9/2/2023).
Suhartati mengaku lantaran pendapatannya dalam beberapa bulan belakangan ini menurun, sehingga ia mengalami keterlambatan dalam membayar cicilan. Di tengah persoalan keuangan itu, tiba-tiba ada sekelompok orang kurang lebih berjumlah 7 orang mendatangi rumahnya.
“Mereka memaksa saya menandatangani surat penyerahan kendaraan dan STNK dan kunci kontak mobil Feroza tersebut. Saat itu saya dan anak saya disuruh mengantarkan mobil Feroza ke kantor Koperasi KB di Cibinong. Dan sesampainya di kantor tersebut kami difoto-foto seakan-akan saya penyerahan mobil tersebut kepada pihak Koperasi KB,” ujar dia.
Dia juga mengaku heran dengan koperasi tersebut. Karena sebelumnya tidak ada surat pemberitahuan terlebih dahulu. “Kami sebelumnya tidak diberikan surat pemberitahuan. Mana pada saat itu kami sedang berduka atas meninggalnya Ibunda di Solo. Kemudian dapat kabar ini jujur hati saya miris,” keluhnya.
Menanggapi persoalan yang menimpa Ibu Suhartati, Ketua Umum Pengembangan Aspirasi Rakyat (PAR) Khotman Idris menduga Koprasi KB belum memiliki dasar tetap untuk melakukan tindakan. Pasalnya jelas jelas diatur dalam undang undang tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, kemudian ada hak yang sama antara debitur dan kreditur.
“Kami menduga pihak debitur melakukan jebakan. Di antaranya terkait dengan isi perjanjian yang sebelumnya tidak dibacakan secara transparan oleh kreditur. Sehingga nasabah main tanda tangan aja,” kata Hotman.
Kendati demikian, menurut ketentuan undang undang sudah diatur dengan jelas. Di antaranya pihak perbankan maupun perusahaan saat membuat perjanjian tidak boleh hanya sepihak, namu harus ada kesepakatan kedua belah pihak.
“Oleh karenanya, terkait kasus yang menimpa ibu Suhartati, PAR mendorong aparat penegak hukum untuk turun tangan. Sehingga tidak ada lagi masyarakat yang dibodoh-bodohi dan diintimidasi oleh debt colector,” pungkasnya. (Dod)