
JAKARTA, Harnasnews – Indonesia Police Watch (IPW) sangat prihatin dan turut berduka cita atas meninggalnya tiga anggota Polri masing-masing Kapolsek Negara Batin, Polres Waykanan Iptu Lusiyanto, Bripka Petrus, dan Bripda Ghalib.
Ketiga anggota polisi itu ditembak saat melakukan tugas penggrebekan sabung ayam diduga milik Kopka B dan Peltu L di Kampung Karang Manik, Kecamatan Negara Batin, Kabupaten Waykanan, Provinsi Lampung, Senin (17/3/2025), pukul 16.50 WIB.
“Oleh karena itu, IPW mendesak pelaku secepatnya ditangkap dan diproses secara hukum melalui penanganan tim gabungan TNI dan Polri. Bahkan, TNI harus tegas untuk menindak anggotanya yang secara nyata melanggar hukum,” kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso dalam keterangan tertulisnya, Selasa (18/3/2025).
Apalagi lanjutnya, kekerasan yang terjadi di Kampung Karang Manik itu dilatarbelakangi masalah perjudian melalui sabung ayam dan dilakukan penembakan diduga dari jarak dekat. Pasalnya, ketiga korban terluka di bagian kepala sehingga perlu didalami melalui uji balistik.
“Bisa dibayangkan polisi yang sedang melaksanakan tugasnya saja bisa menjadi korban kekerasan yang mengakibatkan mati diduga oleh oknum TNI bagaimana bila berurusan adalah warga sipil. Potensi kekerasan akan muncul,” tegasnya.
IPW sangat menyayangkan perjudian melalui sabung ayam seringkali kali masih dibekingi oleh oknum-oknum aparat. Padahal Presiden Prabowo Subianto sudah menegaskan untuk memberantas perjudian di tanah air.
Oleh karenanya, ke depan Kapolri dan Panglima TNI untuk bersikap tegas fokus memberantas perjudian sabung ayam agar tidak terjadi korban meninggal dunia lagi akibat arogansi aparat yang memegang senjata api.
Ironisnya, penembakan tiga anggota polisi oleh oknum TNI di lokasi judi sabung ayam di kecamatan Negara Batin, Way Kanan, Lampung yang mengakibatkan matinya 3 anggota Polisi ini terjadi itu di tengah pembahasan RUU TNI. Dalam revisi tersebut ada penambahan perluasan kewenangan TNI untuk ditugaskan pada 15 lembaga/kementrian.
Oleh karenanya IPW mendorong agar para politisi di DPR dan Pemerintah untuk cermat dalam pemberian perluasan kewenangan TNI lembaga kementerian dan memperketat pengawasan dalam RUU TNI tersebut untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan kedepan.
Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Revisi UU TNI
Di tempat terpisah, Koalisi Masyarakat Sipil menolak keras wacana revisi UU TNI. Koalisi ini mulai dari akademisi, mahasiswa, korban tindak kekerasan TNI, hingga kelompok pro demokrasi. Penolakan tersebut disampaikan secara serentak di Kedai Tjikini, Jalan Cikini Raya, Menteng, Jakarta Pusat, Senin, 17 Maret 2025.
Ada beberapa tokoh yang hadir dalam acara tersebut. Antara lain seperti pemikir kebangsaan Sukidi, Guru Besar UI Sulistyowati Irianto, Ketua Divisi Hukum KontraS Andrie Yunus, hingga aktivis hak asasi manusia Maria Catarina Sumarsih.
Dalam keterangan resminya yang disampaikan secara serentak dalam acara tersebut, mereka mengkritik mengenai pemerintah yang telah menyampaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Revisi UU TNI kepada DPR, 11 Maret 2025. DIM itu dinilai bermasalah. Terdapat pasal-pasal yang akan mengembalikan militerisme atau Dwifungsi TNI di Indonesia.
“Kami menilai agenda revisi UU TNI tidak memiliki urgensi transformasi TNI ke arah yang profesional. Justru akan melemahkan profesionalisme militer. Sebagai alat pertahanan negara, TNI dilatih, dididik dan disiapkan untuk perang, bukan untuk fungsi non-pertahanan seperti duduk di jabatan-jabatan sipil,” katanya.
Mereka berpendapat, dalam konteks reformasi sektor keamanan, semestinya pemerintah dan DPR mendorong agenda reformasi peradilan militer melalui revisi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Agenda revisi UU ini dinilai lebih penting ketimbang RUU TNI, karena agenda itu merupakan kewajiban konstitusional negara untuk menjalankan prinsip persamaan di hadapan hukum bagi semua warga negara, tanpa kecuali. Reformasi peradilan militer merupakan mandat TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI.
“Kami menilai RUU TNI akan mengembalikan Dwifungsi TNI, yaitu militer aktif menduduki jabatan-jabatan sipil. Perluasan penempatan TNI aktif itu tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko memunculkan masalah, seperti eksklusi warga sipil dari jabatan sipil, menguatkan dominasi militer di ranah sipil dan memicu terjadinya kebijakan maupun loyalitas ganda. Selain itu, merebut jabatan sipil dan memarginalkan ASN dan Perempuan dalam akses posisi-posisi strategis,” jelasnya.**