Tragedi LA Dalam Perspektif Pancasila

Oleh: Agus Wahid

Terkesan menyambung-nyambungkan. Itulah jika kita membaca judul tulisan tersebut. Bagaimana tidak? Diksi yang digunakan seperti tak nyambung. Tak ada korelasinya. Namun perlu kita cermati bersama, korelasi antara tragedi di LA dan Pancasila itu.

Seperti kita ketahui, masyarakat California, bahkan Amerika Serikat pada umumnya dan masyarakat dunia hanya bisa terkesima saat awal-awal menyaksikan kebakaran hebat yang melanda kota Los Angeles, yang kini meluas ke beberapa wilayah mewah sekitanya. Memang, kini terdapat upaya memadamkannya dengan mengerahkan ratusan ribu kubik debit air yang dihempaskan melalui helikopter. Namun, kita saksikan, semburan api justru kian meluas. Tidak seimbang antara kecepatan kobaran api versus air yang disemburkan.

Uniknya lagi, di tengah kobaran api, terdapat rumah milik muslim dan ada masjid selamat dari api yang mengamuk itu. Api seperti memilih sasaran. It`s very impossible, but it`s the fact. Tapi, itulah fakta yang menggerakkan berfikir, kok bisa terjadi “pilih-pilih” seperti itu. Sangat tidak makes sense bagi akal manusia.

Tapi, di sanalah, jika menganalisa beberapa sila Pancasila, sejumlah fakta eneh itu bisa dijawab dengan simpel. Seperti kita ketahui, Sila pertama Pancasila bicara masalah Ketuhanan Yang Maha Esa (YME): Allah. Bagi sila pertama, tragedi LA dan sekitarnya tak lepas dari kehendak Allah. Ketika Dia YME berkehendak, tak ada satupun makhluk di dunia ini mampu menghalanginya, apalagi hanya derajat manusia, sedigdaya apapun, di level global ataupun regional, apalagi hanya level serasa “Raja” Jawa dan RT-RW.

Kekuatan faktual tentang Allah YME seharusnya menjadi faktor yang menggugah kesadaran, bagi siapapun, termasuk kalangan sekuleris dan atheis, apalagi kalangan beragama, meski hanya berstatus di KTP saja.

Yang menarik untuk kita garis-bawahi lebih jauh, tragedi LA bukan hanya sekedar mengakui eksistensi Tuhan YME, tapi apa dan bagaimana perintah dan larangan-Nya yang harusnya diindahkan. Dalam perspektif Islam, Allah sangat tidak rela umat manusia membunuh umat manusia lain dengan sengaja, dengan tangannya sendiri, atau secara sistemik (persenjataan modern). Inilah sifat keberadaban Allah YME yang harusnya dijadikan teladan umat manusia di jagad raya ini.

Dalam kaitan itu, Sila kedua Pancasila tertuang jelas tentang prinsip moral keberadaban manusia itu. Karena itu, Sila kedua Pancasila itu bisa menjadi landasan moral dan teoritik untuk menganalisis masalah tragedi LA. Bahwa tragedi itu merupakan refleksi konkret dari kemurkaan Allah yang sangat tidak menyukai umat manusia yang demikian agresif membantai sesama umat manusia, apalagi melanggar hak hidupnya. Dan AS layak mendapat murka-Nya karena sejauh ini full support terhadap kebijakan Israel yang terus membantai anak-bangsa Palestina.

Sisi lain, jika kita menganalisis Sila pertama dan kedua Pancasila, kita dapat mencatat juga sila derivatifnya. Itulah cara Allah menegur AS untuk menghentikan praktik-praktik antihumanismenya. Dengan kebakaran hebat LA dan sekitarnya, AS menurut laporan AI  diperkirakan rugi (dalam kurs rupiah) mencapai Rp 1000 triliun lebih. Hal ini membuat AS diperhadapkan bayang-bayang bangkrut. Setidaknya, akan terjadi krisis ekonomi nasional. Kebangkrutan dan atau krisis ekonomi internalnya membuat kecilnya kemungkinan AS tetap membantu secara finansial terhadap Israel. Implikasinya, Israel kehilangan daya atau amunisi untuk memerangi Palestina.

Dengan bahasa diplomatis, ketiadaan atau keterbatasan ekonomi, AS memerintahkan gencatan senjata Israel  Gaza. Itulah kebijakan luar negeri Joe Biden yang tertunda sejak dirinya terpilih menjadi Presiden Paman Sam. Kebijakan itu secara simplistis bisa ditangkap substansinya. Di satu sisi, AS tak inginkan Israel musnah akibat kehabisan amunisi karena tiadanya bantuan AS. Di sisi lain, apapun tendensinya, gencatan senjata dapat dimaknai sebagai upaya menghentikan potensi kemusnahan umat manusia dan makin hancurnya struktur alam di tengah Gaza dan Israel, bahkan Libanon yang juga menjadi sasaran tembak Israel.

Ada sisi lain yang rasanya cukup relevan untuk terjemahkan lebih jauh dari sudut Pancasila. Gencatan senjata  dalam tahap awal untuk mengurangi eskalasi perang bilateral, yang berpotensi meluas (menggiring banyak negara terlibat). Dalam perspektif positive thinking, Sila ketiga Pancasila menggaris-bawahi makna penting persatuan. Dalam konteks Indonesia memang didiksikan “Persatuan Indonesia”. Hanya negeri kita yang berkepentingan.

Namun, jika Sila ketiga Pancasila direfleksikan dalam ranah global, sesungguhnya Sila ketiga itu mengamanatkan urgensi pentingnya persatuan global. Tentu, terlalu imajiner gambaran persatuan itu. Tapi, setidaknya, amanat persatuan itu dapat diterjemahkan dalam kerangka perdamaian dunia.

Maka, gencatan senjata Israel – Palestina dapat dirancang sebagai pijakan untuk merancang-bangun tatanan dunia baru untuk memperjuangkan perdamaian dunia. Diawali dari bumi Palestina, berlanjut ke kawasan lain seperti Ukraina versus Rusia. Dalam hal ini, Pancasila, yang di antaranya tertera jelas bicara masalah persatuan, dapat “dipromosikan” sebagai landasan ideal dalam tatanan baru dunia yang penuh damai.

Jika dulu kita mendengar Soekarno pernah “mempromosikan” Pancasila ke forum dunia dan terkesan utopis, kini panorama konflik global bisa dilerai dengan spiritualitas Pancasila. Kondisionalitas saat ini bisa dijadikan momentum untuk mengibarkan Pancasila ke arena dunia. Apakah Prabowo bisa mengambil momentum itu? Wallahu `alam. Tergantung kemampuan sejumlah menterinya dalam merefleksikan spirit Pancasila itu.

Akhir kata, dalam Pancasila, terdapat spirit bagaimana membangun keadilan ekonomi. Sekali lagi, rumusan Pancasila terkait Sila kelima untuk kepentingan rakyat Indonesia. Namun, jika spirit keadilan itu direfleksikan ke ranah global, maka spiritualitas Sila kelima ini bisa dijadikan kerangka design how to make justice in the world.

Spiritualitas itu jelaslah menjadi jawaban konsepsional untuk menghadirkan sistem dunia baru yang berkeadilan. Kapitalisme yang didasarkan liberalisme hanyalah menjadi faktor destruktif bagi kepentingan kehidupan umat manusia di ranah global. Dan konflik bilateral – dari sisi politik sejatinya tak lepas dari irisan kepentingan geoekonomi dan karenanya muncul imperialisme klasik atau neokolonialisme. Dan inilah yang mendorong persaingan global, mulai zaman industri hingga zaman milenium ini. Persaingan global  selagi kapitalisme liberal menjadi ruhnya maka dunia yang berkeadilan itu tak akan pernah terwujud. Ketegangan hubungan bahkan konflik akan terus membayanginya.

Di sanalah sumbangsih Sila kelima Pancasila. Sila kelima ini bisa dijadikan spirit global untuk merancang-bangun sistem sosial-ekonomi yang penuh dengan aroma keadilan. Persaingan yes. Alamiah. Tapi, penuh dengan sentuhan kemanusiaan. Spirit kolaborasi menjadi warna baru dunia global. Di sanalah kita selaku anak bangsa Indonesia perlu merenung keberadaan dan peran strategis Pancasila, apalagi dalam sepuluh tahun terakhir ini dikerdilkan, bahkan ada upaya sistematis untuk menyingkirkan. Hanya kalangan atheis (komunis) yang tak pandai bersyukur atas keunggulan nilai-nilai transformatif Pancasila.

Penulis: Analis Politik

Leave A Reply

Your email address will not be published.