“WWF jangan dijadikan pemcitraan keberhasilan pemerintah Indonesia terhadap pengendalian percepatan pemulihan kerusakan sungai Citarum. Kenapa kami tidak menyetujui dijadikan claim
keberhasilan di pertemuan WWF,
karena menurut kami serta jaringan komunitas lingkungan WALHI merespon terhadap situasi dan kondisi sungai Citarum yang faktanya hingga saat ini kami buktikan dalam kegiatan Bebersih ternyata masih mengalami kerusakan, , Nah, indikator atau parameter capaian kritis kami nyatakan gagal, pertama di kawasan hulu lahan kritis itu belum pulih, malah cenderung kerusakannya meningkat juga di wilayah hutannya,” ungkap Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat, Wahyudin, Minggu (19/5).
“Di saat musim hujan kerap terjadi banjir bandang, banjir lumpur yang sekali juga menelan korban. Dan tentunya meningkatkan bentuk kerugian tidak hanya dalam kontek sektor lingkungan,
tetapi kerugian secara material.
Itu adalah salah satu indikator
kerapa kami mengatakan gagal program Citarum Harum terutama dari sisi kontek lahan kritis,” jelasnya.
Wahyudin mengakatan, alasan yang Kedua adalah, WALHI juga masih menemukan
bentuk-bentuk pelanggaran di sektor industri
yang melakukan pencemaran secara langsung maupun tidak langsung ke
anak sungai maupun ke sungai Citarum. Pelanggar, industri-industri yang melakukan percemaran ke sungai tersebut tidak ditindak secara tegas.
“Nah yang Ketiga, mengenai penyelesaian persoalan sampah yang masuk ke anak sungai, maupun bermuara ke Sungai Citarum. Memang situasi atau kondisi saat ini
kami tidak menemukan Sampah yang menggunung dari anak sungai yang bermuara
ke Sungai Citarum. Tapi kami masih temukan
pada saat kondisi hujan atau musim hujan,
di sungai-sungai itu sampah mengapung. Jadi, kami tidak bisa membayangkan siapa instansi yang bertanggung jawab selanjutnya,
ketika misalnya yang mengatasi, atau yang mengambil sampah-sampah yang bermuara di Sungai Citarum,” ucapnya.
“Yang ke Empat, soal anggaran yang bersumber dari APPD, Kementerian dan lainnya itu ada memang dipublikasikan, tapi secara detail tidak dilakukan penyerapan anggarannya. Saat ini masuk tahun ke 6 dimana kurun waktu Program Citarum Harum ini sudah berjalan, lalu
berapakah biaya, yang bersumber
dari APPD dan Kementarian dan lainnya yang telah diserap?. Tdak ada
transparasi angaran secara detil termasuk
keuangan yang bersifat hutang negara,”ungkapnya.
Kemudian alasan yang Kelima yaitu, seberapa jauh partisipasi publik
dilibatkan secara masif. Misal terlibat
pada ruang-ruang perencanaan,
evaluasi, pengawasan terhadap
Program Citarum Harum.
“Yang terakhir adalah benar adanya bahwa Program Citarum Harum merupakan program palsu. Faktanya, hingga saat ini
masih mengalami kerusakan yang nyata. Mengapa kami katakan Program Palsu,
karena tidak menyasar pada masalah pencamaran dan kerusakan dari hulu ke hilir hingga muara Sungai Citarum, serta sejauh mana indeks kualitas air Sungai Citarum.” tutup Wahyudin kepada Wartawan. (*)